14 Tahun Lumpur Lapindo, Bagaimana Nasibnya Sekarang?

Oleh : Galih Jati
Membahas kasus lumpur lapindo memanglah sangat rumit dan banyak sekali pihak yang terlibat, tapi disini saya akan sederhanakan saja dan akan saya jelaskan secara runtun.
Balik ke tahun 2006, Lapindo Brantas Inc., sebuah perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditunjuk oleh BPMIGAS untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di wilayah Blok Brantas yang mencakup daerah Sidoarjo, Jawa Timur. BPMIGAS merupakan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang lalu dibubarkan pada tahun 2012 karena dinilai terlalu dipengaruhi oleh pihak Asing dan kemudian digantikan tugasnya oleh SKK Migas atau Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Perusahaan bernama Lapindo Brantas Inc. ini 100% sahamnya dimiliki oleh PT Energi Mega Persada Tbk melalui anak perusahaannya yaitu PT Kalila Energy Ltd dengan sahamnya sebanyak 84,24% dan Pan Asia Enterprise dengan saham 15,76%, PT Energi Mega Persada Tbk ini merupakan anak perusahaan dari Group Bakrie dimana Group Bakrie memiliki 63,53% sahamnya, Group Bakrie ini merupakan sebuah Group Perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, CEO dari perusahaan PT Energi Mega Persada adalah Bapak Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung dari Bapak Aburizal Bakrie, yang pada saat itu Bapak Aburizal Bakrie menjabat sebagai Menteri Koordinator (MenKo) Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Indonesia Bersatu dibawah kepemimpinan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tercatat menjadi orang paling kaya no 1 di Indonesia berdasarkan Majalah Forbes.
Nah tapi Lapindo Brantas Inc. ini tidak melakukan pengeborannya sendiri, mereka melakukan tender ke Sub Kontraktor, yang pada bulan Januari 2006 dimenangkan oleh PT Medici Citra Nusantara dengan menggunakan nama Alton International Indonesia dengan nilai kerjasama sebesar 24 Juta USD dan akan mulai pengeboran pada bulan Maret 2006.
Dicurigai bahwa Lapindo Brantas Inc. dari awal perencanaan pengeboran sudah salah dalam membuat Prognosis, apa itu Prognosis? Prognosis merupakan sebuah analisa resiko pengeboran yang mencakup identifikasi lapisan bawah tanah zona pengeboran dan langkah-langkah yang akan dilakukan serta prediksi hasil pengeboran, Lapindo Brantas Inc. dinilai salah dalam mengidentifikasi zona pengeboran yang akan dilakukan yang mengakibatkan salah dalam langkah pengeboran sehingga menyebabkan lumpur betekanan tinggi keluar melewati rekahan alami dan sampai di permukaan atau biasa disebut Surface Blowout pada tanggal 29 Mei 2006.
Surface Blowout ini tidak keluar di lubang pengeboran tetapi berjarak 100 meter dari titik pengeboran, hal ini yang dijadikan argumen oleh pihak Lapindo Brantas Inc. bahwa lumpur yang keluar bukan terjadi akibat aktivitas mereka namun terjadi karena pergeseran lempengan tanah karena adanya Gempa pada 3 hari sebelum terjadinya Surface Blowout ini, perlu diketahui bahwa pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi sebuah gempa tektonik dengan kekuatan 6,2 skala richter di daerah Bantul, Yogjakarta. namun beberapa Ahli beranggapan bahwa hal ini dikarenakan memang di titik pengeboran sudah ditutup dengan lumpur berdensitas berat sesuai dengan prosedur BOP atau Blowout Procedure, yaitu procedure penanggulangan jika ada resiko blowout, sehingga lumpur bertekanan tinggi yang terlanjur naik tersebut mencari jalan yang lebih mudah dilalui yang berada di sana dan itu adalah rekahan alami sehingga munculah semburan lumpur di titik lain yang jaraknya jauh dari titik pengeboran.
Dalam International Conference and Exhibition yang dilakukan di Cape Town Afrika Selatan pada tahun 2008 yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologist menghasilkan 3 pendapat Ahli, 3 Ahli berpendapat bahwa Gempa lah yang menjadi penyebab, 42 Ahli berpendapat aktivitas pengeboranlah yang menjadi penyebab dan 13 Ahli berpendapat penyebabnya merupakan kombinasi dari Gempa dan aktivitas pengeboran, sementara 16 Ahli lainnya tidak berpendapat.
Semburan lumpur panas ini kemudian mengakibatkan banjir lumpur yang sangat besar dengan volume 50 ribu sampai 126 ribu m3/hari nya, menyebabkan dampak bencana yang sangat luas, sebanyak 16 desa di 3 kecamatan tergenang lumpur panas, lebih dari 25 ribu warga harus mengungsi, tidak kurang dari 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur, belum termasuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya, termasuk jaringan listrik, telepon, dan air bersih, begitu juga dengan ratusan hektar lahan pertanian serta persawahan milik warga, ribuan ekor hewan ternak dan 30 pabrik yang berada di sekitar area semburan lumpur, serta 1.873 orang yang harus kehilangan pekerjaan mereka.
Ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario, setidaknya ada 3 sekenario yang dilakukan, pertama adalah dengan menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit, yaitu dengan cara mengebor kembali sumur Banjar Panji 1 sampai ke dasarnya dan menutupnya dengan semen dan lumpur berat namun ternyata snubbing gagal mencapai dasar sumur, scenario yang kedua adalah dengan menghetikan luapa lumpur dengan cara sidetracking atau pengeboran miring namun gagal lagi karena ternyata sudah terjadi banyak pergeseran lapisan bumi dan muncul gelembung-gelembung gas bumi yang sangat membahayakan para pekerja dan scenario ke 3 adalah dengan menambahkan 3 sumur baru untuk memadamkan semburan lumpur dan scenario ke 3 inilah yang sampai sekarang masih dilakukan, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali yang akhirnya sampai pada anggapan bahwa lumpur ini adalah fenomena alam.
Ketiga skenario tadi beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.
Bapak Rudi Rubiandini ketua SKK Migas pada waktu itu yang juga merupakan Wakil Menteri ESDM, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu.
Namun pada tanggal 29 Mei 2007 upaya penghentian semburan lumpur tersebut dihentikan, Bapak Rudi Rubiandini menyatakan bahwa upaya penghentian semburan lumpur dengan teknik relief well tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan kekurangan dana.
Dan sampailah sekarang lumpur lapindo setiap hari tidak pernah berhenti mengeluarkan lumpur panasnya. Lalu apa yang sudah dilakukan Pemerintah dan Lapindo Brantas untuk membayar semua kerugian dari kejadian ini? Kita coba lihat lagi,
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai pembentukan Tim Nasional Penannggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dengan tujuan utama yaitu menyelamatkan penduduk sekitar, menjaga infrastuktur dasar dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan resiko lingkungan paling kecil.
Tim ini lalu dipimpin oleh Bapak Basuki Hadi Muljono yang pada saat itu menjabat sebagai Kapala Badan Penelitian dan Pengembangan Department Pekerjaan Umum, yang kini menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rumah atau PUPR. Tim ini diberi waktu selama 6 bulan lamanya dan segala biaya dibebankan kepada pihak Lapindo Brantas Inc. yang pada akhirnya gagal total meskipun sudah mengeluarkan biaya 900 miliar rupiah, tim ini lalu digantikan oleh BPLS atau Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden pada bulan April 2007 dan kemudian dijadikan sebagai tim permanen untuk mengurus masalah terkait dengan penanggulangan masalah lumpur Sidoarjo termasuk di dalamnya masalah ganti rugi lahan dan rumah warga yang terdampak, pada akhirnya badan ini dibubarkan pada periode Bapak Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden pada bulan Maret tahun 2017 dan segala fungsi dan kewajiban dipindahkan ke Kementrian PUPR dibawah kepemimpinan Bapak Basuki Hadimuljono, di dalam kementrian lalu dibentuk Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) di bawah DirJen Sumber Daya Air lewat Peraturan Menteri PUPR No 5 tahun 2017.
Kembali ke tanggal 27 September 2006, Pemerintah memutuskan untuk membuang lumpur panas langsung ke Kali Porong yang merupakan sebuah terusan dari Sungai Brantas Mojokerto dan mengalir ke arah timur lalu bermuara di Selat Madura. Keputusan ini awalnya adalah untuk memberikan waktu tambahan untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur karena wilayah lumpur pada permukaan yang semakin meluas, namun hingga kini keputusan sementara ini menjadi keputusan selamanya, dampaknya luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektare di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun.
Tahun 2007, Melalui Perpres No.14 tahun 2007 PT Minarak Lapindo Jaya diputuskan harus menanggung pembayaran senilai 3,8 Triliun rupiah, Pada tanggal 22 Maret 2007, Pemerintah mengeluarkan Peta Area terdampak sebagai acuan dasar yang digunakan untuk melakukan penanggulangan terkait dengan dampak sosial dan ekonomi warga sekitar yang terdampak, tetapi Peta Area ini kemudian mendapat banyak sekali protes dan masukan karena dampak dari lumpur ini kian lama kian meluas dan dampaknya seiring waktu berpengaruh pada kualitas air sumur yang semakin memburuk dan meningkatnya potensi terjadinya banjir ketika musim hujan.
Tahun 2012, realisasi pembayaran sudah mencapai angka Rp 3,409 triliun atau sebesar 89%. Namun ada keterlambatan pencairan dana sebesar Rp 497,4 miliar. Total kekurangan yang harus dibayar oleh Lapindo sebesar Rp 918,7 miliar
Tahun 2015, Pemerintah memberikan dana talangan kepada Lapindo Brantas senilai Rp827 miliar pada bulan Juli, Dana itu digunakan untuk ganti rugi kepada masyarakat yang berada di dalam peta area terdampak bencana lumpur, pihak Lapindo Brantas diwajibkan untuk melunasi hutang tersebut kepada pemerintah sampai bulan Juli 2019 dengan pajak 4,8% pertahunnya, jika pihak Lapindo Brantas tidak dapat melunasi hutang tersebut maka asset tanah yang dimiliki oleh Pihak Lapindo akan menjadi milik pemerintah, sebelumnya Pihak Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya hanya menyanggupi untuk membayar ganti rugi senilai 3,03 Miliyar rupiah, tidak hanya hutang Lapindo juga memiliki kewajiban untuk memberikan sertifikasi tanah kepada warga terdampak lumpur Lapindo, hingga tahun 2015 jaminan sertifikasi tanah baru keluar sekitar 46 hektar namun sayangnya, seritifikasi tanah dan lahan di area terdampak ini mengalami kesulitan karena hingga kini area masih tertutupi oleh lumpur panas yang belum mengering.
Pemerintah juga menanggung dana untuk korban lumpur Lapindo. Sejak 2006-2010, APBN sudah membiayai korban lumpur Lapindo sebesar Rp 2,8 triliun. Ditambah tahun 2012-2014, pemerintah menyiapkan anggaran Rp 5,8 triliun.
Tahun 2019, pihak Lapindo Brantas baru melunasi hutang sebesar 5 Miliar atau kurang dari 10% pinjaman pokok dan belum termasuk bunga hutang, namun pihak Lapindo menyatakan bahwa mereka mempunyai piutang kepada pemerintah sebesar 1,9 Trilian rupiah, yang berarti pemerintah mempunyai hutang kepada lapindo sebesar 1,9 Triliun rupiah, namun SKK Migas mengatakan bahwa piutang tersebut adalah cost recoverable atau biaya investasi operasi yang akan dikembalikan jika waktu kontrak kerjasama sudah selesai jadi tidak bisa dicairkan sebelum kontrak kerjasama selesai.
Tahun 2020, kenyataannya masih ada banyak korban terdampak yang belum mendapatkan ganti rugi, tercatat ada 103 korban yang belum diselesaikan berkas ganti ruginya dengan perkiraan nominal sebesar 800 Miliar rupiah belum termasuk kerugian non material lainnya, pada tahun ini Kementrian PUPR sudah menganggarkan 380 Miliar Rupiah untuk kegiatan PPLS, namun biaya itu hanya digunakan untuk peningkatan tanggul dan pengaliran lumpur.
Hingga rezim berganti, dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat 2004-2014, kemudian masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 sampai sekarang, urusan ganti rugi belum juga tuntas sepenuhnya, apalagi jika kita berbicara mengenai dampak panjangnya.
Lalu harus kepada siapa lagi para korban lumpur lapindo ini mengggantungkan harapan dan memohon belas kasihan, mereka hanya meminta hak nya kembali, namun apa yang didapat? Lelah menunggu tiada pasti.
Yang jelas, Lumpur Lapindo bukan hanya sebuah bencana alam, namun juga sebuah tragedi kemanusiaan, pencemaran lingkungan terbesar di indonesia dengan penyelesaian kasus yang tak kunjung selesai dan korban yang menunggu lebih dari 14 tahun lamanya. Mari kita doakan semoga semua korban segera mendapatkan ganti rugi yang sepadan dan Pemerintah dapat lebih tegas lagi dan lebih gigih lagi dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya yang dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Salam Lestari, Hijau Berseri!