TRI PUSAT PENDIDIKAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh : Amalia Utami*
Persoalan lingkungan menjadi perhatian yang bisa dibilang paling favorit akhir-akhir ini. Berbagai macam pencemaran lingkungan akibat pola perilaku manusia yang tidak memperhatikan aspek perlindungan dan pengelolaan secara bijak, menimbulkan perubahan siklus ekosistem yang cukup signifikan.
Perubahan siklus terhadap ekosistem ini yang akhirnya berdampak pada terganggunya stabilitas lingkungan. Ada dua kejadian yang dianggap menjadi pengganggu terhadap stabilitas lingkungan, yaitu perusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan.
Perusakan lingkungan, dipicu oleh tingginya nafsu manusia terhadap pemanfaatan alam, baik langsung maupun tidak langsung. Mulai dari pemanfaatan tanah pasir, batu-batuan, eksploitasi hutan secara besar-besaran, perburuan liar, pemanfaatan lahan tambang yang tidak pula disertai dengan langkah preventif terhadap akibat yang akan ditimbulkan.[1]
Hal tersebut sangat kontradiktif dengan UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahateraan masyarakat Indonesia dan umat manusia pada umumnya, untuk masa sekarang dan yang akan datang.[2]
Pencemaran lingkungan, yaitu masuk atau dimasukannya zat, energi atau komponen lain kedalam suatu lingkungan yang memicu perubahan terhadap tata lingkungan, dan kualitas lingkungan sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.[3] Misalnya pencemaran udara,air, dan tanah yang diakibatkan oleh aktivitas pabrik, rumah tangga, alat transportasi, pembakaran sampah, sisa pestisida dan lain sebagainya.
Cara pandang manusia terhadap alam, sangat mempengaruhi semua perilaku dan aktivitasnya, termasuk dalam memperlakukan alam. Berberapa pihak menganggap kerusakan lingkungan diakibatkan oleh cara pandang antroposentris[4], cara pandang ini dinilai sebagai asal muasal perilaku eksploitasi kekayaan alam, hal tersebut dilakukan demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia. Bahkan yang lebih fatal, cara pandang ini melahirkan sikap rakus dan tamak dalam pemanfaatan alam, tanpa memperhitungkan kelestariannya, karena alam dipandang sebagai alat pemenuh kebutuhan manusia.
Sikap tamak dan cenderung eksploitatif selalu saja menjadi perilaku yang seolah susah untuk dikendalikan . Padahal secara naluriah manusia dan lingkungan merupakan dua komponen yang bisa membantu seimbangnya ekosistem. Seperti yang dikemukakan oleh Ward & Dubos, bahwa bumi ini hanyalah satu (only one earth) yang kelangsungannya sangat bergantung pada manusia untuk menjaga dan melangsungkan hidupnya. [5]
Seperti yang disabdakan Rasulullah “seandainya manusia diberi satu lembah penuh emas,ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah (yaitu setelah kematian), dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau bertaubat”( HR. Bukhari) , jika boleh meminjam kata-kata yang senada dengan makna hadis diatas, dari salah satu tokoh india, bahwa “Bumi ini cukup luas untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah”, isyarat menohok sebagai sindiran atas ketamakan manusia.
Terlepas dari sikap tamaknya manusia tersebut, berbagai permasalahan yang mengganggu stabilitas lingkungan, bisa juga diakibatkan dari masih minimnya kesadaran ekologis[6] pada masyarakat. Sehingga dirasa perlu dilakukan upaya kesadaran ekologis lebih masif lagi, agar daya kritis, dan literasi masyarakat semakin meningkat.