Opini

BAGAIMANA ISLAM MENYUMBANG KESEIMBANGAN ALAM?

Oleh : David Efendi*

Hasrat dan ambisi manusia baik yang beragama maupun yang tidak, yang islam maupun lainnya untuk serakah terhadap sumber daya alam/material nyaris tanpa batas. Kejahatan yang teramat ekstrim terus dipraktikkan kepada alam semesta. Segala sesuatu dirampas dari bumi, bukan hanya sekedar mengambil tetapi menjual agar mendapatkan keuntungan berlipat lipat tanpa memikirkan akibat. Konsumsi  berlebihan pun merusak keseimbangan alam: tanah kehilangan nutrisi, cadangan air menyusut dan tercemari, hingga lapisan atmosfer menipis dan berlubang di sana-sini. Bukankah manusia dipandu ajaran agama untuk tidak berlebihan menuhankan nafsu serakah ? bukankan manusia beriman terbangun kesadaran akan hakikat hidupnya bahwa apa yang dirusak dan dihancurkan akan diminta pertanggungjawaban, dan juga dalam waktu dekat yang dibinasakan itu akan menuntut resiko, orang orang akan pasti merasakan dampak buruk kerusakan ilingkungan.

Dalam bukunya ‘Humankind: Solidarity with Non-Human People Timothy Morton A radical call for solidarity between humans and non-humans, Timothy Morton (2007), menyampaikan bahwa sejatinya menjadi manusia itu artinya bersolider secara autentik dengan berbagai ragam lingkungan non-manusia. Saya kira ini tepat dan pas dengan apa yang diajarkan agama Islam dalam menata relasi yang adil dalam kehidupan: dengan tuhan, dengan alam, dan dengan manusia. Persoalannya sekaligus pertanyaannya: seberapa ekologis ummat beragama (Islam) dalam kehidupan sehari-hari? Seberapa besar kontribusi nyatanya ummat islam sebagai makluk ciptaan yang diamanahkan al-Quran untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan kehidupan planet? Sebarapa serius dan sungguh-sungguh kelompok beriman mengupayakankemaslahatan lingkungan hidup, misalnya perilaku anti plastik, penggunaan plastik dan bahan lain yang merugikan eksosistem?

Sebelum mendiskusikan kontribusi teoritik dan praktik ada juga pertanyaan mendasat yang perlu direnungkan: Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Ketika sains dan teknologi menantang batas antara kehidupan manusia dan kehidupan non manusia, antara organik dan anorganik manusia dituntut untuk mengambil bagian memimpin untuk mendefinisikan keadaan karena non-manusia tidak memungkinkan melakukan peran inisiator. Timothy, seorang filosof, Morton mengundang kita untuk mempertimbangkan masalah filosofis ini sebagai sesuatu yang sangat politis. Dalam hubungan kita dengan non-manusia, kita memutuskan nasib kemanusiaan kita. Menjadi manusia sebenarnya berarti menciptakan jaringan kebaikan dan solidaritas dengan non-manusia, atas nama pemahaman realitas yang lebih luas yang mencakup dan mengatasi gagasan tentang spesies. Menegosiasikan politik ambisi kemanusiaan atau antroposentris adalah langkah pertama dan penting untuk merebut kembali skala atas koeksistensi ekologis, bukan untuk menoleransi kehancuran lingkungan demi kenyamanan, atau lupa (pura-pura lupa) membiarkan Monsanto dan korporasi perusak lingkungan serta kelompok miliarder yang secara ‘cryogenik’ menghancurkan dan membunuh kesempatan kepada mereka untuk mendefinisikan makna keberdayaan ekologi. Di Indonesia, kejahatan di Hutan, di  Laut, udara lewat pembakaran hutan dan beragam polusi dibiarkan. 

1 2 3 4Laman berikutnya

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button