Oleh : David Efendi* Genealogi dari ekologi pembebasan adalah teologi pembebasan yang dikenal tahun 1980-an dari Guiteress. Ada kebuntuan teologi katolik yang menjadikan kemiskinan dan ketertindasan sebagai fenomena di luar urusan keyakinan keagamaan. Teologi pembebasan kemudian menjadi jalan keluar yang sangat radikal untuk membangun hubungan antara agama dan persoalan kemanusiaan. Gelombang teologi pembebasan ini sampai jauh tersebar di berbagai belahan bumi. Tidak terkecuali, Indonesia juga Muhammadiyah yang secara praktis sebenarnya telah memberlakukan teologi pembebasan sejak awal Kiai Dahlan menggerakkan pemikiran dan kesadaran teologisnya. Pada tahun 1990-an kemudian di Muhammadiyah dikenal teologi Al-Maun sebagai bentuk dari teologi pembebasan di Muhammadiyah. Setelah hamper serratus tahun, kemudian evolusi gerakan Muhammadiyah kemudian merespon persoalan lingkungan hidup sebagai problem yang juga dapat diurasi dari kesadaran teologi. Di Muhammadiyah kemudian mendorong pemahaman isu lingkungan secara sistematis dalam produk organisasi seperti teologi lingkungan, Fikih air, dan juga etika lingkungan yang ada dalam pedoman kehidupan islami warga Muhammadiyah. Kesadaran ini sangat tepat dilabeli sebagai kesadaran untuk mengupayakan pembebasan lingkungan dari segala mara bahaya yang dapat meruntuhkan kehidupan. Di Indonesia sedang terjadi keruntuhan ekologis justru dunia berada dalam era di mana ekologi menjadi panglima—berbagai negara maju sejak 1990-an telah mengupayakan dan mengamankan satu bumi ini dari kerusakan dan kehancuran akibat pemanasan global dan praktik produksi dengan energi kotor. Kelompok rentan adalah kelompok paling menderita saat lingkungan hidup rusak. Negara-negara berkembang masih jatuh pada paradigma eksploitatif di dalam pembangunan yang menghadirkan ragam kutukan sumber daya yang maha mengerikan. Kekayaan sumber daya yang salah dikelola ternyata telah mengirim petaka yang berkepanjangan bagi masyarakat. Banyak ahli berteriak bahwa pertumbuhan ekonomi tak akan punya banyak arti jika lingkungan hidup hancur. Wabah zoonosis covid-19 ini terhubung kuat dengan kesadaran ekologi kita yang terus menerus menguat dalam satu sisi dan juga ada pengingkaran di sisi lainnya. Selain miskin, mereka akan sulit bertahan hidup jika pola pola pembangunan yang dilakukan negara itu mengancam ekosistem tempat tumpuhan hidup mereka. Tangisan bumi adalah jeritan orang-orang miskin. Begitulah pesan dari Leonardo Boff dalam bukunya Cry of the Earth, Cry of The poor yang terbit tahun 1997 silam. Karenanya, teologi pembebasan dan ekologi pembebasan tak dapat dipisahkan. Jika mau membebaskan orang miskin, harus cegah kehancuran lingkungan hidup. Secara defacto, teologi Pembebasan di Muhammadiyah barangkali lebih tua usianya dibandingkan dengan gagasan teologi pembebasan Guiteress jika gerakan Muhammadiyah dimaknai sebagai gerakan kesadaran teologi dan tauhid sosial dalam visi Muhammadiyah sejak awal mula berdiri. Dalam konteks pembebasan ekologi, Muhammadiyah memang baru melibatkan diri pada tahun 2000an sebagai kesadaran keagamaan melihat kerusakan alam. Tiga tahun sebelum Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si’ (2015), satu ensiklik bercorak ajaran sosial Gereja Katolik dalam fokus ekologi, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah menyampaikan Pesan Pastoral Sidang KWI Tahun 2012 tentang Ekopastoral. Dengan pesan tersebut, Gereja ingin terlibat dalam usaha bersama melestarikan menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan. Inilah perspektif penting dalam rangka menciptakan ruang bagi pahlawan pada era ekologi. Prinsipnya, siapa pun yang berkomitmen untuk menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup pantas disebut pahlawan pada era ekologi justru karena kita sedang berperang melawan krisis ekologi yang tak kunjungan berakhir, bahkan kian tragis. Agar layak menjadi pahlawan lingkungan pada era ekologi, kita harus melakukan pertobatan ekologis. Dalam film Semes7a yang tayang sebelum wabah Corona di Indonesia ada pendeta yang sangat radikal menyampaikan pikirannya senada degan Paus Fansiskus yang meminta pertobatan ekologis—tinggalkan dosa keserakahan, ketidakadilan, dan sikap egois demi kepentingan sendiri dan kelompok dengan mengembangkan keramahan dan kepedulian demi keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup. Selain itu seruan Julius Kardinal Darmaatmadja yang pada tanggal 26 November 2019 genap 25 tahun melayani sebagai kardinal itu layak kita perhatikan: “Mari kita menjadi pahlawan lingkungan hidup, meski mungkin hanya dengan cara sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, menanam pohon, memelihara tanaman di pot-pot, mengurangi penggunaan plastik dan hal-hal lainnya yang dapat kita usahakan dalam rangka menjaga bumi, rumah kita bersama.” Di Muhammadiyah, kesadaran serupa juga terus tumbuh baik dari tokoh-tokoh pentingnya maupun di kalangan penggerak kultural yang menyuarakan persoalan lingkungan ini. Din Syamsuddin, melalui beragam aliansi global mempopulerkan kesadaran agama bagi isu-isu pemanasan global dan perubahan iklim. Din Syamsuddin juga yang banyak mengarusutamakan dialog antar peradaban dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim global dan di kalangan Muhammadiyah pun Din Syamsuddin telah memperkuat gerakan ini melalui beragam judicial review UU SDA, dan juga memperkuat pelembagaan majelis lingkungan hidup, dan juga di dalam MUI. Haedar Nashir juga banyak menyampaikan pembelaaan yang keras bagi tata kelola lingkungan hidup yang lebih adil dan juga lebih berparadigma ekologis. "Jangan sampai segolongan kecil orang menguasai hajat hidup rakyat dan kekuatan sumber daya alam kita hanya untuk kepentingan mereka" (Haedar Nashir, 2018). Kini kita juga harus mengapresiasi munculnya kanal-kanal ekologis dari Rahim Muhamamdiyah baik dalam ortom, majelis,kokam, kader hijau Muhammadiyah, dan komunitas-komunitas prakarsa individu warga Muhamamdiyah, di sungai, di kota-kota, di kebun, di laut, dan banyak lagi ragamnya. Kita semua sedang membangun satu orchestra peradaban: taawun kepada bumi dan langit sebagai manifesto keislaman dan keimanan kita yang sering kita klaim sebagai wajah Islam rahmatan lil alamin. Bentuknya adalah sebarapa radikal kita praktikkan tata kelola hidup yang ramah lingkungan, bagaimana advokasi diperjuangkan, dan bagaimana usaha melipatgandakan amal sholeh-ekologi ini. Menurut Haedar Nashir, sebagai ketua Umum PP Muhammadiyah, “fokus Muhammadiyah dalam mendukung pembangunan adalah menyelamatkan lingkungan hidup, pembangunan tanpa merusak sesuai dengan spirit Islam. Manusia diutus menjadi khalifah agar memakmurkan alam, namun yang terjadi justru penistaan terhadap alam." Hal senafas juga terus disampaikan oleh Busyro Muqodas agar tata kelola sumber daya alam di negeri ini tidak digadaikan dan diserahkan kepada gerombolan tirani oligarki. Saya melihat, radikalisasi pembebasan ekologi atau ekologi pembebasan ini punya masa depan yang serius di kalangan Muhammadiyah. Walau tantangan memang menjadi semakin berat berhadapan dengan rezim esktraktif yang represif hari ini. Bukan hanya itu, tantangan dari dalam juga semakin menguat akibat system ekonomi pasar kapitalistik yang menjebak beragam entitas untuk jatuh pada pemahaman bahwa ekspoitasi alam sebagai normalitas dan korban-korban akibat salah kelola sumber daya alam sebagai eksternalitas yang diwajar-wajarkan. Ini tantangan bagi banyak orang di negeri ini, bukan hanya warga Muhammadiyah. Ekonomi yang panic cenderung cari jalan pintas. Jalan gampang dan lempeng adalah ekonomi yang mengandalkan ekstraksi kepada bumi dan isinya. Saya sangat terharu dan bangga untuk kesadaran kaum muda. Pekan lalu saya juga mendapat kiriman WA dari mahasiswa saya di NTT, ia adalah alumni Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang merasa marah dan prihatin atas sikap aktifis Muhammadiyah yang dengan begitu cepatnya memberikan dukungan kepada beroperasinya pabrik semen di Luwuk, Manggarai Timur, NTT. Menurutnya aktifis pemuda Muhammadiyah tersebut belum melakukan kajian dan melibatkan anak muda lainnya untuk menyampaikan sikapnya. Saya kira ini jelas tantangan dan bisa menjadi politis—pengusaha akan mencari legitimasi dari organisasi keislaman untuk melancarkan usaha merusak bumi. Bagi saya, ini tantangan aktual bagi kesadaran ekologi pembebasan yang sedang mekar di Muhammadiyah. Tantangan dari dalam sekaligus dari interaksi rezim pasar kapitalistik. Apakah kita akan bersungguh membangun iman kita lebih hijau? Lebih membela lingkungan ketimbang membela pemodal-kapiatalistik? Kita semua sedang mencari cara membela lingkungan dengan beragam cara termasuk dengan jalan teologis. Saya juga sedang membela bahwa Muhammadiyah punya dimenasi gerakan pembelaan terhadap lingkungan hidup sebagai praktik teologi pasca 100 tahun sebagai kesadaran autentik akan tangggungjawab ekologi bagi kaum beriman. Walaupun ekologi pembebasan sudah ketemu di Muhammadiyah, itu sama sekali belum cukup untuk mengatakan sebuah itikad baik akan teologi hijau di Muhammadiyah. Insyallah Tuhan bersama hamba-hamba yang selalu membela kelestarian bumi dan segala apa-apa yang ada di dalamnya. Wallahu alam bishowab. *Ketua Serikat Taman Pustaka dan Penasehat Kader Hijau Muhammadiyah