Belajar Daulat Pangan dari Kasepuhan Ciptagelar
Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman
Indonesia merupakan salah satu negara mega-biodiversity dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, bersama Brazil dan Zaire. Negeri ini dikaruniai curah hujan yang sangat besar dengan angka mencapai 2.700 mm/tahun, sehingga dengan sedikit pengelolaan saja seharusnya kita mampu membudidayakan segala jenis tanaman di sepanjang tahun.
Ironisnya, Indonesia hingga saat ini tak kunjung mampu mewujudkan baik ketahanan maupun kedaulatan pangan. Faktanya, hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang menderita kelaparan dan gizi buruk. Selain itu, para petani kecil juga masih jauh dari kata sejahtera.
Per tahun 2015, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merilis laporan bahwa di Indonesia masih terdapat 19,4 juta orang kelaparan atau dapat disimpulkan bahwa 1 dari 12 orang Indonesia masih mengalami kelaparan. Kondisi petani pun tak kalah miris. Per tahun 2014, BPS menyebutkan bahwa nilai tukar petani hanya sebesar 100,07 (angka 100 menunjukkan impas dan lebih kecil menandakan kerugian), angka dari data tersebut tentu sangat minim.
Sementara itu di salah satu pelosok Indonesia terdapat sekelompok masyarakat adat yang mampu mewujudkan ketahanan pangan tanpa banyak campur tangan dari pemerintah. Kasepuhan Ciptagelar merupakan masyarakat adat yang tinggal di daerah gunung Halimun, Salak, Sukabumi, Jawa Barat.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh leluhurnya. Sebagai masyarakat berbudaya padi, Kasepuhan Ciptagelar merupakan percontohan nyata dalam mewujudkan ketahanan pangan. Bahkan, gabah yang tersedia di lumbung pangan kampung adat tersebut masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai 20 tahun ke depan.
Keberhasilan Kasepuhan Ciptagelar dalam mewujudkan ketahanan pangan merupakan hasil dari perpaduan berbagai konsep dan sistem yang diwariskan dari masa ke masa. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seorang pemuka adat yang diberi gelar Abah. Posisi tersebut didapatkan secara turun-temurun.
Di dalam sistem pemerintahan Kasepuhan, Abah berperan sebagai pemimpin secara politis serta menjadi panutan dalam hal kultural serta keagamaan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, terdapat tujuh rorokan, atau sejenis lembaga kementerian. Segala kebijakan yang dilahirkan tidak lepas dari nilai-nilai yang dijunjung serta kesejahteraan masyarakat Kasepuhan.
Dari segi pengelolaan pertanian, praktik yang dilakukan pun tak lepas dari adat-istiadat. Kasepuhan Ciptagelar hanya melakukan penanaman padi sekali setahun dengan tidak menggunakan peralatan pertanian modern, seperti traktor. Secara adat, penanaman sekali setahun dilakukan karena masyarakat percaya bahwa bumi butuh istirahat.
Sedangkan secara ilmiah, penanaman sekali setahun terbukti efektif dalam menghentikan siklus hama wereng. Sistem pertanian di Kasepuhan Ciptagelar selalu menggunakan bibit lokal yang diwariskan turun-temurun. Adapun hasil panen disimpan dalam lumbung padi yang disebut leuit, dan tidak boleh didistribusikan keluar desa. Masyarakat percaya bahwa menjual beras sama dengan menjual kehidupan.
Hal menarik lainnya adalah pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adat tersebut. Pembagian zonasi lahan untuk kebutuhan pemukiman dan pertanian dibagi menjadi tiga zona, yaitu: 1) Leuweung Kolot, wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu untuk kepentingan apapun; 2) Leuweung Titipan, kawasan hutan yang diamanatkan kepada para incu putu (masyarakat umum) untuk dijaga; 3) Leuweung Bukaan, kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat dikelola untuk sawah, huma (sistem berladang yang berpindah-pindah) dan kebun.
Meskipun hidup dengan penuh adat-istiadat, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak anti terhadap teknologi dan modenitas. Sebaliknya, masyarakat adat tersebut menyikapinya dengan penuh kebijaksanaan.
Di Kasepuhan Ciptagelar, terdapat pembangkit listrik dari energi terbarukan yang merupakan hasil gotong-royong masyarakat. Pemanfaatan teknologi yang bersanding dengan kearifan lokal menjadikan Kasepuhan Ciptagelar layak menjadi percontohan dalam mewujudkan keselarasan antara kepentingan manusia dan kelestarian alam.
Kebijakan-kebijakan yang kontras dengan apa yang dilakukan masyarakat adat tersebut justru lazim ditemukan di Indonesia. Sistem pertanian monokultur yang berbalut revolusi hijau mendatangkan masalah yang tidak sedikit.
Meskipun terbukti mampu meningkatkan produksi dan ketersediaan, model pertanian yang berbasis masukan bahan kimia-sintetik tersebut menyebabkan munculnya resistensi pada organisme pengganggu, penurunan kualitas lingkungan, erosi keanekaragaman hayati, serta timbulnya masalah kesehatan dan sosial.
Salah satu yang juga menjadi permasalahan serius bagi pertanian Indonesia ialah kebijakan alih fungsi lahan. Kecenderungan pembangunan infrastruktur, pendirian perusahaan pertambangan, dan perkebunan skala besar yang masif menyebabkan lahan produktif semakin menyusut serta kerusakan lingkungan yang nyata.
Maraknya privatisasi lahan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu juga menyebabkan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil. Solusi yang dihadirkan dengan mencetak pertanian melalui pembabatan hutan pun kian memperparah masalah yang ada.
Hal ini kian diperparah dengan ketidakjelasan identitas bangsa dan arah pembangunan Indonesia. Potensi menjadi negara terkuat di bidang agraris maupun maritim menjadi terkesan tak teroptimalkan.
Arus modernitas yang datang dari budaya luar pun ditelan mentah-mentah tanpa penyesuaian dengan kondisi sosial-lingkungan yang ada di Indonesia. Alhasil, bangsa ini semakin terjebak dalam pusaran pangan dan obat-obatan global dan semakin sulit untuk berdaulat.
Kunci penyelesaian dari problematika tersebut adalah hadirnya kepemimpinan yang berintegritas, berpihak penuh pada kepentingan rakyat, dan peka terhadap keberlangsungan alam dan lingkungan.
Sejatinya, Indonesia punya modal besar dengan eksistensi pancasila sebagai nilai-nilai yang telah disepakati. Pancasila dengan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial dapat menjadi acuan utama dalam mewujudkan keselarasan antara kepentingan manusia, nilai-nilai keluhuran serta kelestarian alam.
Barangkali Indonesia masih perlu belajar dari Kasepuhan Ciptagelar dalam mengimplementasikan pancasila demi terwujudnya bangsa yang adil dan makmur.
Editor : Fiqih
Ilustrator : Habibi