Opini

Bagaimana Paradigma Teologi Islam Memandang Alam?

Konsekuensi manusia sebagai subjek atau pusat dari alam semesta adalah tata kelola SDA (sumber daya alam) hanya berdasarkan kepentingan manusia. Hierarkis tertinggi manusia ini secara tidak langsung menegasikan keberadaan makhluk lain karena tidak memiliki nilai. Hal ini yang mendorong Christopher D. Stone menulis sebuah karya berjudul Should Trees Have Standing” (2012) untuk membela pohon karena menganggap kedudukan pohon sama halnya dengan kedudukan manusia. Gagasan Stone yang menyamakan kedudukan manusia dengan pohon ini dipengaruhi oleh paradigma biosentrisme.

Biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya sama-sama memberikan kritik atas antroposentrisme, letak perbedaannya ialah: jika biosentrisme menyebutkan makhluk lain hanya terbatas pada biotik (makhluk hidup) seperti hewan dan tumbuhan, ekosentrisme lebih luas menyebutkan makhluk hidup adalah termasuk komponen ekosistem atau ekologi, termasuk benda bukan makhluk hidup (abiotik).

Karena menganggap manusia dan makhluk lain memiliki kedudukan yang sama, maka keputusan yang dibuat oleh manusia dalam tata kelola SDA mestinya juga memperhatikan kepentingan makhluk lain sebagaimana yang digambarkan oleh Stone ketika membela hak pohon untuk tetap hidup.

Tiga Macam Paradigma Hubungan Manusia-Alam dalam Teologi Islam

Sementara itu, beberapa waktu lalu (Sabtu, 9/4) Haedar Nashir dalam pidatonya pada acara seminar Pra-muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke 48 yang mengusung tema perubahan iklim dan kesalehan ekologi, menyebutkan bahwa “upaya menyelamatkan lingkungan dan kehidupan manusia yang berada di ambang kepunahan memerlukan paradigma teologis keagamaan, agar di satu pihak kita dapat membangun tetapi di pihak lain tidak merusak.”

Al-Qur’an mengilustrasikan tiga paradigma tentang relasi manusia-alam, yakni kekhalifahan, fasadah, dan nifaq atau hipokrit. Kata kekhalifahan di sini sifatnya universal-global dan konseptual, tak terkait dengan khalifah dalam arti politik—bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. ditugaskan sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka Bumi, di mana fungsi kekhalifahan ini adalah merawat bumi dan tidak merusaknya.

Meski sempat “diprotes” oleh malaikat lantaran memiliki potensi merusak dan suka menumpahkan darah (QS. 2:30), namun Tuhan menjawab bahwa pengetahuanNya jauh di atas para malaikat. Ayat ini memberikan gambaran dua sisi manusia di mana ia bisa menjadi pembangun, namun juga berpotensi menjadi perusak.

Dengan fungsi kekhalifahan tersebut, potensi merusak dieliminasi sehingga menyisakan potensi membangun. “Potensi membangun ialah berupa memakmurkan bumi dengan mengelola sumber daya alam sebagai karunia Tuhan dalam batas wajar dan tidak berlebihan serta eksploitatif.” Di samping itu, tauhid memiliki peran fundamental sebagai kontrol manusia dalam mengelola alam agar terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button