Oleh: Rizal Firmansyah Dewasa ini, isu global, seperti krisis iklim, menuntut kita untuk memberi perhatian lebih. Sikap abai seolah tak terjadi sesuatu justru akan mendorong umat manusia ke dalam jurang kehancuran. Fenomena ini menampakkan situasi alam yang kurang bersahabat, tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Adalah manusia yang menjadi faktor dominan atas kerusakan lingkungan. The Uninhabitable Earth (Bumi yang tak dapat dihuni) karya David Wallace-Wells (2019) menggambarkan bila manusia tidak juga mau berbenah, maka bumi tempat berpijak tak akan lagi mampu menjadi tempat tinggal manusia. Tiga Paradigma Hubungan Manusia dengan Alam Untuk itu, dengan mengamati kebiasaan dan pola hidup manusia yang dipengaruhi oleh paradigma atau cara pandang manusia dalam memperlakukan sesama makhluk hidup, memberi gambaran kepada kita mengapa kerusakan lingkungan tidak segera teratasi dan masih menempati nomor urut teratas dalam daftar masalah umat manusia. Paradigma ini berperan dalam menentukan posisi relasi antara manusia dan alam, dengan porsi yang berbeda. Setidaknya terdapat tiga paradigma yakni; antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Antroposentrisme menempatkan posisi manusia lebih unggul dibanding makhluk lain, sehingga menganggap manusia dapat memperlakukan makhluk lain sekehendaknya. Dalam hal ini, manusia sebagai subjek memiliki kehendak bebas yang tak dapat dimiliki oleh makhluk lain yang sebagai objek. Konsekuensi manusia sebagai subjek atau pusat dari alam semesta adalah tata kelola SDA (sumber daya alam) hanya berdasarkan kepentingan manusia. Hierarkis tertinggi manusia ini secara tidak langsung menegasikan keberadaan makhluk lain karena tidak memiliki nilai. Hal ini yang mendorong Christopher D. Stone menulis sebuah karya berjudul “Should Trees Have Standing” (2012) untuk membela pohon karena menganggap kedudukan pohon sama halnya dengan kedudukan manusia. Gagasan Stone yang menyamakan kedudukan manusia dengan pohon ini dipengaruhi oleh paradigma biosentrisme. Biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya sama-sama memberikan kritik atas antroposentrisme, letak perbedaannya ialah: jika biosentrisme menyebutkan makhluk lain hanya terbatas pada biotik (makhluk hidup) seperti hewan dan tumbuhan, ekosentrisme lebih luas menyebutkan makhluk hidup adalah termasuk komponen ekosistem atau ekologi, termasuk benda bukan makhluk hidup (abiotik). Karena menganggap manusia dan makhluk lain memiliki kedudukan yang sama, maka keputusan yang dibuat oleh manusia dalam tata kelola SDA mestinya juga memperhatikan kepentingan makhluk lain sebagaimana yang digambarkan oleh Stone ketika membela hak pohon untuk tetap hidup. Tiga Macam Paradigma Hubungan Manusia-Alam dalam Teologi Islam Sementara itu, beberapa waktu lalu (Sabtu, 9/4) Haedar Nashir dalam pidatonya pada acara seminar Pra-muktamar Muhammadiyah dan 'Aisyiyah ke 48 yang mengusung tema perubahan iklim dan kesalehan ekologi, menyebutkan bahwa “upaya menyelamatkan lingkungan dan kehidupan manusia yang berada di ambang kepunahan memerlukan paradigma teologis keagamaan, agar di satu pihak kita dapat membangun tetapi di pihak lain tidak merusak.” Al-Qur'an mengilustrasikan tiga paradigma tentang relasi manusia-alam, yakni kekhalifahan, fasadah, dan nifaq atau hipokrit. Kata kekhalifahan di sini sifatnya universal-global dan konseptual, tak terkait dengan khalifah dalam arti politik—bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. ditugaskan sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka Bumi, di mana fungsi kekhalifahan ini adalah merawat bumi dan tidak merusaknya. Meski sempat "diprotes" oleh malaikat lantaran memiliki potensi merusak dan suka menumpahkan darah (QS. 2:30), namun Tuhan menjawab bahwa pengetahuanNya jauh di atas para malaikat. Ayat ini memberikan gambaran dua sisi manusia di mana ia bisa menjadi pembangun, namun juga berpotensi menjadi perusak. Dengan fungsi kekhalifahan tersebut, potensi merusak dieliminasi sehingga menyisakan potensi membangun. "Potensi membangun ialah berupa memakmurkan bumi dengan mengelola sumber daya alam sebagai karunia Tuhan dalam batas wajar dan tidak berlebihan serta eksploitatif." Di samping itu, tauhid memiliki peran fundamental sebagai kontrol manusia dalam mengelola alam agar terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan. Kedua, paradigma Fasadah atau potensi manusia menjadi perusak. Hasrat manusia untuk merusak ini lantaran sifat "israf" atau suka berlebihan. Hal ini didorong oleh faktor kekuasaan yang cenderung korup, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Sebagai misal, kita dapat melihat bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah hari ini, apakah mengakomodir kepentingan seluruh makhluk atau hanya segelintir elit dengan tidak mengindahkan kelestarian alam. Masih segar dalam ingatan kita ketika pemerintah banyak membiarkan perusahaan raksasa mengeksploitasi habis hutan di Indonesia, bahkan saat pabrik-pabrik industri dengan cerobong asap menjulang ke angkasa hendak dibangun, dengan sewenang-wenang menyingkirkan rakyat dari tanah kelahiran dan tempat tinggalnya dengan dalih kepentingan umum. Ironisnya, negara berperan penting dalam memudahkan para pebisnis kelas kakap ini. Buku “Zaman Otoriter” karya Eko Prasetyo (2021) yang belum lama ini terbit, pada sub bab "Di Mana Posisi Pemerintah?" mengajak kita untuk berpikir kritis tentang kontrol pemerintah terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. "Di mana posisi negara dalam situasi ketika perusahaan lebih banyak memberi mudharat bagi lingkungan sekitar? Apa peran pejabat yang bertanggung jawab mengenai ini jika dirinya juga punya saham di dalam perusahaan? Bagaimana memberi sanksi pada perusahaan yang meski mencemari lingkungan tapi menampung ribuan tenaga kerja? Pertimbangan apa yang dapat dijadikan dasar untuk memberi sanksi perusahaan yang terbukti menyuap dan mencemari lingkungan? Mampukah pengadilan menjerat korporasi yang pemiliknya punya hubungan spesial dengan penguasa? Ketika berhadapan dengan perusahaan, ketentuan apa yang kita pakai sebagai dasar keadilan atau keuntungan?" Kutipan di atas juga berlaku pada fenomena yang terjadi pada konflik tambang pasir di Jomboran Yogyakarta, konflik tambang batuan andesit di Wadas Purworejo-Jawa tengah, konflik petani dengan Pabrik Gula PT. Rajawali II di Indramayu Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Ketiga, paradigma nifaq atau hipokrit yang berarti perilaku manusia yang seolah-olah membangun namun pada kenyataannya justru merusak. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 11-12) Membangun dengan Merusak: Melihat Kasus Wadas Menghadapi perilaku manusia dengan paradigma yang pertama dan kedua tentu telah terdapat kejelasan. Namun, kesulitannya adalah ketika menghadapi paradigma yang ketiga tersebut dengan situasi yang sedikit kabur: Kita menemukan bahwa hari ini banyak yang mengampanyekan agenda pembangunan menunjang perkembangan era industri 4.0 padahal secara tidak sadar mereka telah berbuat kerusakan. Ada banyak argumen dan teori-teori pembangunan yang dikemukakan oleh pihak berkepentingan, agar rencana proyek pembangunan tidak dihalangi oleh aktivis lingkungan dan masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Misalnya, konflik tambang batuan andesit di Wadas yang rencananya akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener dan menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintah. Sekitar 401 ha. luas desa, akan dibebaskan lahan 114 ha dan untuk titik pertambangan seluas 64 ha. Proyek pertambangan ini berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan di antaranya (1) Pertambangan batuan andesit dilakukan di daerah rawan longsor di mana hal ini merupakan ancaman bagi ruang hidup masyarakat. Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang disetujui oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Purworejo. Berdasarkan Perda Kabupaten Purworejo Pasal 42 No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT RW) Kabupaten Purworejo tahun 2011-2031 desa Wadas Kecamatan Bener tidak diperuntukkan bagi kegiatan penambangan (andesit). Sebaliknya, daerah tersebut justru ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana. Adapun pada Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor, telah dinyatakan bahwasanya aktivitas pertambangan tidak layak untuk dibangun pada zona berpotensi longsor berdasarkan tingkat kerawanan tinggi. (2) Pertambangan batuan andesit di desa Wadas berpotensi menghilangkan sekitar 28 sumber mata air. Padahal di dalam Pasal 25 UU nomor 17 tahun 2019 tentang sumber daya air menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan: a. Terganggunya kondisi tata air Daerah aliran sungai; b. Kerusakan sumber air dan/atau prasarananya; c. Terganggunya upaya pengawetan air; dan d) pencemaran air. (3) selain itu, pertambangan batuan andesit akan merusak hutan yang merupakan mata pencaharian masyarakat setempat. Ketika masalah ini disampaikan dan disuarakan ke pemerintah, ada segudang teori pembangunan yang dikeluarkan oleh para ahli yang bekerja untuk pemerintah dengan mengatakan bahwa hal tersebut telah dilakukan mitigasi dan disusun rencana antisipatif sehingga kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan tidak akan terjadi. Sayangnya, teori yang digunakan sebagai dalih pemerintah sering tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Inilah yang kemudian disebut sebagai tindakan yang seolah-olah membangun ternyata justru merusak. *Kader IMM FAI UAD