Oleh: Eko Cahyono**
Peningkatan tindakan kekerasan atas nama pembangunan umumnya berhubungan erat dengan perampasan paksa sumber-sumber agraria rakyat dan memperburuk sengkarut agraria. Kasus kekerasan di Desa Wadas, Purworejo, akibat ekspansi pembangunan bendungan raksasa; konflik lahan pembangunan Sirkuit Mandalika di Lombok; dan konflik tata ruang pembangunan ibu kota baru merupakan contoh aktualnya.
Akar masalah sengkarut agraria dapat disimpulkan dalam tiga hal: Pertama, legitimasi utama perampasan tanah rakyat adalah atas nama pembangunan nasional atau obyek proyek strategis nasional (PSN). Praktik dari kebijakan ini kerap berwatak legal but not legitimated. Di satu sisi, seluruh proyek pembangunan tersebut “legal” dari sudut hukum tapi absen dari legitimasi dan dukungan suara rakyat (Kartodihardjo, 2018).
Kedua, menguatnya keterlibatan aparat keamanan dan milisi sipil sebagai “penjaga” proyek-proyek pembangunan. Model pendekatan keamanan ini sering berakibat terciptanya “spiral kekerasan” (Camara, 2000). Ketiga, pembungkaman suara kritis dan kriminalisasi pejuang agraria, lingkungan, serta hak asasi manusia dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta politik media atau buzzer rupiah. Hal ini menjadi penanda bahwa kebijakan politik negara berpenyakit politik pengabaian (politic of ignorance) karena kesenjangan antara “nalar elite” dan “nalar massa” (Wertheim, 2009).