Untuk Apa Memperingati Hari Bumi, Jika Hari Kiamat akan Terjadi?
Untuk apa kita makan, jika kita tahu bahwa setiap yang bernyawa itu pasti akan mati?
Dalam dinamika sejarah pemikiran manusia, langgam pertanyaan yang senada dengan judul di atas mewakili kelompok pemikir Jabariyah yang mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ialah sudah berada di dalam garis ketetapan Allah. Artinya, manusia tak bisa bahkan tak perlu mengintervensi rencana yang telah dibuat olehNya.
Penulis menempatkan argumen utama dalam topik tulisan ini berada di seberang logika Jabariyah tersebut. Bahwa hari kiamat adalah kuasa Allah. Sebaliknya, melakukan beragam aksi pelestarian melalui peringatan hari Bumi adalah kuasa manusia.
Kita boleh saja berargumen bahwa tak sehelai daun jatuh-pun yang luput dari kuasaNya (takdir). Tapi, apakah setiap pohon yang ditebang secara besar-besaran juga atas kuasaNya? Apakah penyedotan cairan perut Bumi dan pengerukan ikan-ikan dan makhluk di laut secara besar-besaran juga atas kuasaNya?
Latar Belakang Peringatan Hari Bumi: Lebih Banyak Kerusakan daripada Kebaikan
Lima puluh tiga tahun yang lalu, 1969, proyek pengeboran miyak di laut lepas (offshore) California, Amerika Serikat yang bernama Santa Barbara mengalami kebocoran. Akibatnya, ekosistem laut di sekitarnya mengalami keracunan yang sangat parah akibat tumpahan minyak tersebut.
Satu tahun kemudian, tepatnya pada 21 April (1970), ribuan orang turun ke jalan secara kolektif untuk menuntut menghentikan aktifitas ekstraksi bahan bakar fossil yang berasal dari perut Bumi tersebut. Sejak peristiwa itu, dunia Barat, khususnya Amerika, menandai hari Bumi untuk pertama kalinya.
Generasi yang hidup pada saat itu (1970) telah menyadari bahwa aktifitas pengeboran minyak tersebut mempunyai dampak negatif yang lebih besar ketimbang dampak baiknya. Mereka secara sadar juga merasakan bahwa kerusakan tersebut tidak hanya akan terjadi di masa mendatang. Tetapi pada saat itu juga.
Jika kesadaran sains membentuk kesadaran masyarakat Barat untuk menolak praktik yang merugikan banyak makhluk tersebut, lantas bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar sangat religius? Lebih khusus dalam Islam, bagaimana jika dikaitkan dengan kaidah ushul fiqih terkait? Meski begitu, penulis percaya bahwa orang awam-pun dapat menalar bahwa meraup keuntungan di tengah penderitaan massal makhluk lain ialah sebuah kedzaliman. Lebih jauh, membiarkan mereka (manusia rakus) dalam kedzaliman adalah bentuk kedzaliman yang lain.
Hari Bumi adalah Konsekuensi Ekologis
Merefleksikan peringatan hari Bumi dengan menggelar agenda-agenda pelestarian lingkungan melalui pendekatan kultural maupun struktural adalah bentuk ikhtiar (‘azam) manusia sebelum mencapai batas wilayah kuasa manusia: tawakkal (QS. 3 : 159).
Misalnya, dalam pendekatan kultural, kita dapat mengedukasi diri sekaligus mengkampanyekannya dengan memberi berbagai alternatif gaya hidup yang ramah lingkungan, perawatan dan penanaman pohon, pengolahan sampah, dan sejenisnya melalui ruang digital maupun di aktifitas non-digital. Lebih jauh, selain persoalan psikologis dan sosiologis, kerusakan lingkungan juga politis—ia terkait dengan persoalan struktural yang ada.
Deklarasi hari Bumi dan peringatan-peringatan setelahnya bukanlah bentuk dari kesia-siaan. Berbagai ikhtiar yang telah dan sedang dilakukan oleh kalangan pemerhati atau pegiat lingkungan di seluruh dunia merupakan bentuk dari ikhtiar untuk memperpanjang usia Bumi dan seluruh makhluk di dalamnya. Sama halnya dengan aktifitas makan yang dilakukan oleh manusia. Mereka makan untuk memperpanjang usianya, meski mereka tahu bahwa suatu saat mereka akan mati.