Kesadaran itulah yang mendorong Lembaga Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat pada tahun 2008 menerbitkan buku dengan judul: ”Teologi Lingkungan; Teologi Pengolahan Lingkungan dalam Perspektif Islam”. Buku tipis itu cukup menjelaskan berbagai hal di seputar teologi lingkungan, seperti teologi hubungan manusia dengan alam dan asas konservasi sumberdaya alam.
Tentang teologi hubungan manusia dengan alam, buku tersebut menjelaskan secara singkat bagaimana hubungan manusia dengan alam. Alam semesta berikut segala isinya diciptakan Allah dalam kesetimbangan, proporsonal, dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS ar-Ra’d: 8; al-Qamar: 49; al-Hijr: 19). Manusia merupakan bagian dari alam, sebagai penghuni planet bumi. Oleh karena itu manusia dan alam berada dalam posisi yang saling berhubungan.
Sebagai khalifah Allah di muka bumi (QR al-An’am: 165), manusia berkewajiban memakmurkan bumi sebagai bagian dari alam. Posisi sebagai khalifah tidak lantas membawa manusia boleh berbuat semaunya terhadap bumi, bahkan alam. Tetapi posisi sebagai khalifah membawa konsekuensi, yaitu bahwa manusia bertanggungjawab penuh untuk memelihara lingkungan di mana dia hidup.
Sebelum itu, pada 2003, keluar fatwa para ulama NU tentang masalah hubungan manusia dengan lingkungan Fatwa tersebut adalah sebagai berikut.
”Memelihara lingkungan hidup itu kewajiban syara’—Kalimat wa sta’marakum fi haa dalam surat Hud ayat 61: ’Huwa ansya’kum minal ardh wa sta’marukum fi haa’ adalah perintah Allah untuk memelihara lingkungan. Juga surat al-Baqarah ayat 30: Sesungguhnya hendak aku jadikan khlaifah di muka bumi. ’Khalifah’ adalah wakil Allah yang menerima mandat untuk memakmurkan dan melestarikan lingkungan. Perusakan lingkungan adalah hirabah –karena itu, tingkat kejahatan perusakan lingkungan tergolong berat karena menimbulkan bencana alam yang mengorbankan jiwa dan harta.