Mentadaburi Air dan Tanah melalui Surat Al An’am Ayat 99
Pentingnya tanah sebagai sumber kehidupan mengingatkan saya pada ungkapan salah seorang ilmuwan tanah asal Pakistan yang mendapat penghargaan pangan dunia tahun 2020, Rattan Lal bahwa, “Stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan dan kemiskinan memiliki akar yang sama. Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, Tanah.”
Franklin Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 bahkan menyebut bahwa, “Sejarah setiap bangsa akhirnya ditulis sesuai dengan cara mereka memperlakukan tanahnya.” Dengan demikian, kepemilikan tanah hendaknya diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan antara satu sama lain.
Tanah untuk Kepentingan Umum
Dalam konteks keIndonesiaan, secara umum tanah terbagi menjadi dua hal: 1) tanah yang dikuasai oleh negara dan tanah milik individu dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain daripada itu, maka tanah oleh pemerintah akan dikelola untuk kepentingan umum dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Pakai (HGP), hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dan lain-lain.
Seiring dinamikanya, timbul persoalan. Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu seperti apa? Jan Gijsel dan J. J. H. Bruggink menyebutkan bahwa kepentingan umum merupakan suatu pengertian yang kabur (vage begrip) sehingga tidak dapat diinstitusionalisasikan ke dalam norma hukum karena dapat menimbulkan norma kabur (vage normen.)[1]
Senada dengan hal tersebut, Gunanegara dalam penelitiannya menyatakan bahwa merumuskan makna kepentingan umum adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Tidak ada batasan makna ketentuan umum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, cara yang kemudian dipakai adalah dengan menentukan kriterianya dan menetapkannya dalam bentuk daftar (enumeratif).[2]