OpiniTokoh Hijau

Putar Balik Ayahanda, Apakah Akan Berpihak Pada Perusak Lingkungan?

Kaderhijaumu.id | Pada hari Senin (19/12) pukul 14.17 WIB salah satu pegiat KHM mengirim berita di whatsapp group (WAG) Kader Hijau Muhammadiyah yang berjudul “Muhammadiyah Siap Masuk Industri Pertambangan”. Sebuah berita yang diterbitkan resmi oleh pwmu.co dimana menjelaskan salah satu ayahanda yang menjabat ketua PP Muhammadiyah saat mengisi Tabligh Akbar dan Resepsi Milad 111 Muhammadiyah di Sidoarjo (17/12/23).

Ayahanda tersebut menjelaskan progam hilirisasi pemerintah terkait sumber daya alam Indonesia. Yang katanya “dulu penambang hasilnya langsung dijual ke luar, sekarang tidak boleh menjual barang mentah ke luar negeri, tetapi dijadikan setengah jadi dulu. Keuntungan bagi Indonesia menjadi nilai tambah, transfer teknologi dan meningkatkan lapangan pekerjaan.” selain itu beliau mengatakan agar warga Muhammadiyah tidak ketinggalan, tetapi bisa mengambil bagian, menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM). “Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) dan Universitas Muhammadiyah Gresik (UM Gresik) bisa menyiapkan lulusan yang bisa bekerja di smelter. Inilah Muhammadiyah, bisa berkontribusi dan beradaptasi.”

Yang perlu saya tekankan yaitu tidak ada pertambangan yang ramah lingkungan, apalagi pertambangan di Indonesia semua bersifat eksploitasi. Hanya menguntungkan investor dan para pemodal saja tanpa menilai sisi ekologi, keadilan dan kemanusiaan. Green mining yang di gadang-gadang pertambangan si paling ramah lingkungan, bagi saya itu hanya tipu muslihat kapitalisme untuk melancarkan akumulasi kapitalnya saja. Karena bagaimana bisa ramah lingkungan hanya dinilai dari pengurangan emisi karbon saja. Di segala sektor kapitalisme hanya menyelesaikan satu masalah dengan membuat permasalahan-permasahan yang lebih besar lainnya. Dan sangatlah lucu ketika beliau mengisi acara Tabligh Akbar dan Resepsi Milad Muhammadiyah yang bertema “IKHTIAR MENYELAMATKAN SEMESTA” tapi beliau mengatakan Muhammadiyah harus menyiapkan SDM untuk dipekerjakan di pertambangan. Lantas pertanyaan kebingungan yang muncul dibenak saya yang hanya sebagai kader kultural, aslinya Muhammadiyah ini berikhtiar menyelamatkan semesta atau sebaliknya ikhtiar merusak alam semesta?

Sepertinya ayahandaku yang sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Republik Indonesia, kurang berkunjung langsung di beberapa titik konflik warga dengan pertambangan. mulailah untuk menemui warga-warga terdampak di desa, pesisir atau kaum miskin kota yang sedang berjuang merebut kembali hak hidup dan hak atas ruang hidup yang layak yang telah lama dirampas oleh persetubuhan pengusaha dan penguasa. Jumpai petani yang sedang mempertahankan tanah di lahannya, yang sedang berhadapan secara face to face dengan mesin penghancur massal bernama negara dan pasar. Naiklah ke gunung-gunung dengarkanlah keluh kesah warga lereng yang babak belur melindungi gunungnya atas ketamakan pemodal.

Atau karena sudah berada di dalam sistem, layaknya perkataan bapak Mahfud MD yang sempat viral “Jika malaikat masuk sistem di Indonesia pun bisa jadi iblis”. Bisa jadi rasa sungkan dan pekewuh kepada penguasa didalam sistem akan memoles sebuah penindasan menjadi pembenaran. Sehingga ayahandaku menilai progam hilirisasi sudah berjalan dengan baik. Tapi perlu di ingat sebaik apapun progam hilirisasi selama sistem pemerintahan kita masih di kuasai oligarki maka progam itu akan di manfaatkan oleh segilintir pemodal yang bermain di sektor pertambangan. Apakah kita lupa bagaimana UU Minerba dan UU Omnibuslaw yang kita tolak? kedua UU tersebutkan merupakan hasil produk oligarki dalam melancarkan industrinya untuk mengeksploitasi alam serta manusia di Indonesia.

Permasalahan – permasalahan yang ditimbulkan oleh pertambangan?

Bahkan sebelum adanya 2 undang-undang tersebut, proyek pertambangan di Indonesia penuh dengan konflik yang harus dihadapi warga lokasi pertambangan. Salah satunya Dampak nyata dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan pertambangan, tidak hanya sekali saja tapi sering terjadi, namun sayangnya kita enggan belajar dari pengalaman. Sebagai contoh pada tahun 2016 bencana besar terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tidak lain diakibatkan pengeboran gas oleh PT Lapindo Brantas INC yang membuat selama 17 tahun semburan lumpur panas lapindo masih aktif sampai menggenangi 16 desa di tiga kecamatan, 30 pabrik tergenang dengan terpaksa merumahkan ribuan buruh.

Contoh lain Pulau Merah di Banyuwangi pada tahun 2016 yang digenangi lumpur. Apakah ini hanya dikarenakan meningkatnya curah hujan sehingga air yang bercampur lumpur itu bermuara pada pantai di Pulau merah?. Perlu diketahui di barat pantai Pulau merah terdapat gunung Tumpang Pitu yang sebagai benteng warga Pesanggrahan dari angin kencang dari laut. Tapi sayangnya digunung tersebut terdapat salah satu proyek pertambangan terbesar di Indonesia. Menurut catatan WALHI Jatim PT Bumi Sukses Indo mengantongi iup op seluas 4.9998 Ha. Logika sederhana seperti ini, air hujan akan turun dengan deras kebawah bercampur lumpur dan material lainnya kalau diatas gunung terdapat pembukaan lahan yang massif dan agresif. Dengan kata lain pembukaan lahan untuk proyek pertambangan tersebut menjadi faktor utama selain curah hujan yang tinggi.

Dari banjir Kalimantan Selatan hingga banjir di Wadas kita juga bisa belajar bagaimana pemerintah sering gagal dalam mengelola ruang. Kalimantan Selatan dengan luas 3,7 juta Ha, ada 13 kabupaten/ kota, 50% maka sudah dibebani izin tambang 33% dan perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan),” Kata WALHI Kalimantan Selatan kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/01/2021). Begitu juga dengan salah satu warga Wadas Talabudin mengatakan “Sebelum banjir desa Wadas diguyur hujan. Air hujan langsung turun ke pemukiman lantaran sejumlah lahan hijau telah dibuka untuk rencana pertambangan batu andesit.”

Selain kerusakan lingkungan ada juga permasalahan yang ditimbulkan karena adanya pertambangan, Yaitu jejak kekerasan dan kriminalisasi pejuang lingkungan. Dalam catatan WALHI selama 2021 dari 58 kasus kriminalisasi, 52% merupakan kasus di sektor pertambangan, setidaknya telah ada 21 orang warga yang mengalami kriminalisasi dengan menggunakan UU Minerba, dan lebih dari 11 juta hektar ruang hidup dan wilayah kelola rakyat dijarah oleh investasi pertambangan. Selama kurun waktu tahun 2011-2019, berdasarkan data yang dihimpun Kommas HAM, setidaknya terdapat 35 nyawa melayang di lubang bekas tambang tersebut. Para korban sebagian besar adalah anak–anak yang tengah bermain di sekitar lubang tambang. Belum lagi bagaimana warga penolak pertambangan harus menghadapi kekerasan aparat yang brutal? Sering terjadi di beberapa titik, pada bulan Februari 2022 sejumlah aparat gabungan polisi dan TNI dengan bersenjata lengkap mengepung desa Wadas. Selain mengintimidasi warga yang sedang mujahadah di masjid, mereka juga melakukan tindakan kekerasan memukul, menyeret, menendang warga yang menolak tambang. Sehingga represifitas aparat tersebut berujung penangkapan 25 orang terdiri dari warga serta solidaritas yang tergabung.

Mari kita tengok di Banyuwangi pada tahun 2015, 4 warga Pesanggrahan terkena tembakan dari aparat yang sedang melakukan aksi penolakan pertambangan digunung Tumpang Pitu. Berbeda lagi kalau berpindah ke Lumajang, almarhum Salim Kancil yang terbunuh karena menolak tambang pasir besi. Itu semua hanya sebagian dan masih banyak lagi lainnya di beberapa titik konflik pertambangan di Indonesia, warga yang mempertahankan alam dan ruang hidupnya mengalami kriminalisasi, kekerasan aparat serta tindakan premanisme.

Di beberapa titik pertambangan, kehidupan masyarakatnya kebanyakan guyup rukun dan gotong royong. Mereka memanfaat alam untuk kebutuhan hidup secukupnya dengan pertimbangan ekologis. Kebanyakan mata pencarian mereka berprofesi sebagai petani di sawah atau di kebun, nelayan, buruh tani,dll. Sehingga bisa saya katakan kehidupan mereka sangat dinamis sebelum adanya pertambangan. Kehidupan yang gemah rimpah loh jinawi ini menjadi berubah drastis sejak kehadiran tambang. Konflik horizontal antar warga yang pro dan warga yang kontra tidak bisa dielakkan. Ada yang bermusuhan antar keluarganya sendiri dikarenakan si anak pro tambang dan orang tuanya menolak pertambangan. Sehingga pendek kata saya berkesimpulan adanya pertambangan mengadu domba masyarakat di sekitarnya.

Belum lagi masalah perekonomian disekitar pertambangan. Dalam riset YLBHI Yogyakarta rata – rata hasil pertanian Wadas 4 juta hingga 5 juta sehingga bisa menghidupi petani dan keluarganya bahkan sebagian mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Kharisma Wardhatul Khusniah dari LBH Yogyakarta mengatakan pemaparan hasil riset melalui zoom (28/8) “Angka tersebut jauh lebih tinggi dari UMK Kabupaten Purworejo yang berdasarkan Pergub 561/62 Th 2020 hanya sebesar Rp1.905.400,”. Sedangkan pertambangan datang merampas tanah yang kemudian membuat mereka kehilangan mata pencaharian sebagai petani. Seandainya masyarakat disekitar tambang beralih profesi buruh di pertambangan, ini akan membuat ketimpang sosial. Karena kita sama-sama mengetahui tidak ada pertambangan di Indonesia yang dikelola mandiri masyarakat sekitarnya dengan sistem kolektif ataupun swakelola. Semua pertambangan di Indonesia memakai sistem kapitalisme dimana yang berkuasa atas semuanya yaitu investor, pemilik saham atau pemodal. Ini akan menambah angka kemiskinan di Indonesia meningkat, bukan rahasia publik lagi bahkan adik saya yang masih duduk di kelas 1 SMA mengerti kalau kita kerja masih ikut dengan orang (pemodal) yang makin kaya yaitu pemodalnya kita sebagai buruh tetaplah kere.

Dari temuan lapangan tersebut kita bisa simpulkan bahwa pertambangan lebih banyak mudharatnya ketimbang kemaslahatan. Bahkan saya pernah membaca suatu kaidah Ushul Fikih yang berbunyi ” درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح artinya Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mencari kemaslahatan”. Bahwa Islam menganjurkan kita untuk mencegah kerusakan di bumi ini harus di dahulukan. Bukan malah sebaliknya mengikuti hawa nafsu untuk memanfaatkan SDA dengan serakah. Oleh sebab itu Muhammadiyah haruslah berhati-hati dalam mengambil sikap dalam sektor pertambangan. Jangan sampai salah langkah menyikapi lantas menjadi pelaku pertambangan yang pada akhirnya menjadi boomerang bagi Muhammadiyah itu sendiri, karena Muhammadiyah menjadi musuh bersama para aktivis lingkungan serta kaum tertindas.

Beberapa tahun belakangan ini saya lebih bangga bermuhammadiyah, dikarenakan beberapa sikap PP Muhammadiyah dalam mengatasi beberapa isu-isu kerakyatan. Mulai penolakan UU Omnibuslaw dan Minerba. sikap tegas keberpihakan PP Muhammadiyah pada perjuangan kaum Mustadafin melawan pengusaha dan penguasa yang dzolim. LHKP dan MHH PP Muhammadiyah pun langsung terjun ke akar rumput dari Pakel, Wadas, Trenggalek, Rempang, dll. Membantu mengadvokasi warga secara litigasi maupun non litigasi. Apalagi ditambah gerakan ramah lingkungan seperti pemasangan panel surya di beberapa AUM. Sedekah energi, gerakan kolaborasi Muhammadiyah ormas, organisasi pegiat lingkungan, dan komunitas lainnya. Belum lagi gerakan konservasi atau aksi upaya menjaga lingkungan yang dilakukan ortom-ortom Muhammadiyah. Dakwah menggembirakan seperti inilah yang perlu kita perluas. Bahkan sangatlah perlu mengisi pengajian-pengajian di ranting,cabang, ataupun skala daerah dengan ceramah yang ekologis. Membedah fikih-fikih yang dikeluar PP Tarjih Muhammadiyah, seperti fikih air, fikih kebencanaan, dan fikih agraria. Nah dakwah menggembirakan seperti ini lah yang harus kita lestarikan, agar islam berkemajuan ala Muhammadiyah tidak disusupi kapitalisme.

Kontributor : Paramex (Pegiat KHM Jember)

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button