Surat Terbuka dari Kader Berau untuk PP Muhammadiyah terkait Konsesi Tambang
"...Menyeburkan diri ke dalam kubangan lubang tambang, saya khawatir, alih-alih dapat “memutihkan” yang hitam, justru akan menghitamkan yang sudah putih..."
Avengers adalah series superhero Amerika. Dalam film tersebut, ada musuh bebuyutan para pahlawan kebajikan Amerika, bernama Thanos. Misi Thanos sederhana, mengumpulkan enam infinity stones, anggaplah enam batu akik. Dengan batu akik ini, Thanos menjadi orang yang berkuasa, punya kekuatan penuh. Namun, dengan enam batu akik ini juga, setengah populasi makhluk hidup di bumi menghilang. Saya membayangkan, batubara itu adalah infinity stones di dunia nyata. Dikejar, dicari oleh berbagai kepentingan dengan alasan kekuasaan dan keuangan; atau alasan yang lebih bijak, demi kemaslahatan bersama. Entah kenapa, di negeri ini, kata “kepentingan bersama” sering kali bermakna “kepentingan kolega dan keluarga”. Bisa jadi karena kata ini sudah dimanipulasi oleh para politikus ya, Ayahanda. infinity stones itu semacam kotak pandora, persis seperti batubara. Menjanjikan manfaat, namun ketika dibuka, mafsadat berdatangan. Semakin dibuka, digali, ternyata enak juga, cuan-nya melimpah, terus digali sampai ke ujung bumi, setelah habis berlubang tak bersisa, barulah ditinggal begitu saja. Dampak penambangan ini, kata para saintis adalah pemicu terbesar krisis iklim. Memang korbannya tidak langsung tampak seperti perang dunia atau bencana tsunami. Namun dampak krisis iklim ini struktural, komunal dan jangka panjang. Ya kembali lagi seperti di sini, Ayahanda, bencana alam kian mudah terjadi. Lubang-lubang juga ditinggal tak terkendali. Belum lagi Ayahanda, di sini ada puluhan atau mungkin ratusan tambang ilegal. Bahkan di tengah pemukiman warga, dekat dari bandara pun ada penambangan. Banyak korban berjatuhan karena lubang yang menganga menjadi danau yang mencengkeram nyawa. Kapan-kapan, silakan Pimpinan Pusat mengadakan rihlah sekaligus tadabur alam ke sini. Di sini ada Derawan, Maratua, Sangalaki, Kakaban, gugusan kepulauan nan eksotik. Jika berkunjung ke sini, sebelum mendarat, sempatkan menghitung lubang-lubang bekas galian yang tak terurus lagi. Saya, kami, warga sini mau marah, bingung mau marah ke mana? Sebab di sisi lain, ada anak-anak muda, orang-orang tua yang mengais rezeki ala kadarnya di perusahaan tambang. Padahal kenikmatan terbesar dari tambang tak dirasakan oleh masyarakat. Kami hanya menerima apesnya, lubangnya, dan bencananya. Batubara memang menjanjikan energi yang murah, listrik yang bisa menerangi banyak rumah warga, dan penerangan itu, kata salah seorang cendekiawan Muslim, akan mendorong anak muda di pelosok negeri untuk belajar. Dengan pandangan sebaliknya, menghentikan penambangan, akan membuat banyak anak negeri yang tak dapat diterangi pembelajarannya. Saya senang dengan tagline Muhammadiyah yaitu pencerahan, alih-alih penerangan. Penerangan itu soal artifisial. Dulu ada Departemen Penerangan, katanya. Pencerahan itu soal fungsional-substansial. Kita memang butuh hidup dalam terang, tetapi lebih penting lagi adalah hidup yang mencerahkan. Dulu, para pendahulu Muhammadiyah, Kiai Dahlan, Buya Hamka, Pak A.R., mereka hidup dalam situasi remang, tetapi terus bercahaya, mencerahkan, suluh peradaban. Inilah misi Muhammadiyah Ayahanda. Muhammadiyah menjadi pencerah, bukan penerang. Tugas penerang adalah tugas PLN dan pengelola tambang-tambang itu. Ayahanda dan Ibunda di Muhammadiyah-‘Aisyiyah harus hadir memberikan filosofi pencerahan, agar hidup generasi muda ini tidak sebatas mengejar terang, tenar, tetapi juga cerah dan mencerahkan. Sebagai warga biasa, saya memimpikan internasilasi nilai pencerahan peradaban yang berkemajuan dan berkelanjutan itu. Semoga jalannya tidak melalui penambangan. Karena katanya, menolak madharat yang sudah nyata dampaknya lebih utama dibanding mengambil maslahat yang masih spekulatif dan fluktuatif dirasakannya, dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih. Tentu bukan kapasitas saya untuk mengelaborasi kaidah usul fikih tersebut. Ayahanda di Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah punya wewenang mendalam soal kontekstualisasi kaidah fikih soal penambangan dan lingkungan hidup; meneruskan fikih lingkungan yang pernah digagas oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, ulama kontemporer yang belum lama ini wafat. Selain Majelis Tarjih, saya cukup bergembira dengan kehadiran “Risalah Islam Berkemajuan (RIB)” amanat Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta. Saya hadir kala itu meramaikan UMKM se-Solo Raya. Dengan semangat membumikan Muhammadiyah di Bumi Batiwakkal ini pula, ketika kemarin saya diamanahi mengajar “Al-Islam Kemuhammadiyahan” di kampus, saya berikan satu sesi mengulas dokumen ini. Saya pun tak segan-segan mengkaji isi risalahnya dalam pengajian-pengajian PCM dan PRM yang ada di sini. Bagi saya, dokumen ini terlalu berharga untuk didiamkan, apalagi banyak warga di pelosok yang belum tersentuh pemikiran dari risalah ini. Saya berterima kasih sekali, kepada Ayahanda yang telah merumuskan poin-poin penting dalam RIB. Risalah ini cerminan Muhammadiyah sebagai ormas Islam pionir pembangun peradaban masa depan. Salah satu poin yang berkaitan dengan konsesi tambang ini adalah perkhidmatan global dalam pelestarian lingkungan. Saya tak perlu mengingatkan Ayahanda yang menyusun gagasannya, tetapi untuk kepentingan publik, agar pembaca juga dapat mengetahui poinnya, saya kutipkan sebagai berikut: “Salah satu tantangan yang dihadapi manusia terkait persoalan lingkungan adalah perubahan iklim yang terjadi dalam skala global. Perilaku manusia yang boros terhadap energi dan semena-mena terhadap lingkungan telah menyebabkan peningkatan panas dan perubahan yang cepat di lapisan atmosfer, laut dan daratan. Sebagai dampaknya, perubahan iklim global semakin cepat terjadi yang ditandai dengan peningkatan suhu global” (hlm. 76). Pernyataan itu tegas menyatakan bahwa krisis iklim bukanlah ilusi aktivis atau saintis semata. Ayahanda, dan kita semua merasakan perubahan suhu dan cuaca yang kian ekstrem saat ini. Karenanya dibutuhkan upaya kolektif untuk mengatasi hal tersebut. Lantas apa yang dapat dilakukan? Lagi-lagi saya terkesima dengan RIB yang Ayahanda susun. Saya kutipkan berikut:
“Muhammadiyah berupaya secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat dunia untuk menyerukan dan mengawal berbagai regulasi yang dapat membahayakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim. Pada aspek praktis, warga Muhammadiyah di berbagai lapisan telah dan akan tetap terlibat aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, baik secara individu melalui gaya hidup yang pro-ekologis, maupun secara kolektif dengan, misalnya, implementasi sekolah dan kampus hijau, sedekah sampah, sekolah kader lingkungan (daratan, sungai, dan laut), pembangunan kawasan penyejuk bumi, gerakan audit lingkungan mandiri, dan pengembangan energi baru dan terbarukan” (hlm. 75-6).
Bagi teman-teman non-Muhammadiyah, saya sebagai warga boleh berbangga, karena Muhammadiyah secara organisasi Islam selaras dengan pengetahuan sains modern. Bukan hanya soal pengakuan bahwa terjadi perubahan iklim, tetapi juga solusi yang ditawarkan. Gerakan pribadi cum kolektif yang berkemajuan. Membaca pernyataan tersebut, saya jadi bermimpi, andaikan Ayahanda fokus mendiskusikan dan mempersiapkan fikih sekaligus implementasi energi baru dan terbarukan. Wah, sungguh keren dan berkemajuan sekali. Tidak hanya terdepan dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kalender, tetapi juga dua langkah lebih maju dalam membumikan fikih energi terbarukan. Hal-hal inilah yang menjadi tugas ulama dan cendekiawan yang ada di Muhammadiyah. Fokus pada kerja mencerdaskan umat. Subuh tadi, selepas mendengarkan ceramah tokoh PDM Berau, saya diberikan nasihat oleh beliau. Ini sekaligus juga mewakili keresahan salah satu pimpinan Muhammadiyah Berau, yang kiranya Muhammadiyah menerima konsesi, kemungkinan besar tambangnya akan digali di sini. Kata ayahanda PDM tersebut kepada saya, “Kegagalan umat Islam kala Perang Uhud yang sebenarnya hampir berkemajuan dalam kemenangan adalah karena tergoda dengan harta rampasan perang”. Dengan analogi yang sama pula, batubara dapat menjadi batu sandung bagi kita saat ini Ayahanda, untuk maju dan berkemajuan.
Ayahanda yang saya hormati Sebelum saya menutup overthinking anak muda kepada ayahnya ini, saya mau berbagi satu hal yang saya syukuri dari obrolan soal tambang ini. Saya semakin belajar dan tahu bahwa ternyata banyak hal yang belum saya ketahui. Soal lingkungan, penambangan, energi tebarukan adalah hal baru bagi saya. Saya bersyukur menjadi belajar permasalahan global ini. Bukan hanya itu, saya juga jadi belajar sejarah Muhammadiyah. Dalam tulisan saya yang lain, saya menghadirkan kisah Pak A.R., Ki Bagus Hadikusuma, Buya Hamka dan Buya Syafi’i. Mengapa hal itu saya lakukan? Saya penasaran, jika mereka hidup hari ini, dengan kezuhudan dan kemandirian mereka dalam berorganisasi, apakah mereka akan menerima atau menolak konsesi ini? Tapi, toh itu hanya perandaian saja. Karena mereka telah tiada. Namun, pertanyaan saya itu terjawab. Tak perlu berandai-andai. Saat ini PP Muhammadiyah pun dipimpin oleh orang yang bukan kaleng-kaleng. Saya yakin, Ayahanda sekalian akan terus mewariskan semangat perjuangan para pendahulu Muhammadiyah sembari terus melakukan pembaharuan yang selaras dengan tantangan zaman dan iklim. Terakhir sekali, saya tutup surat ini dengan ajakan untuk bersama-sama merenungkan satu hadis Nabi Saw yang sangat visioner. Beliau mengatakan:
“Jika esok kiamat dan engkau masih membawa tunas sebatang pohon untuk kamu tanam, teruskan niatmu dan tanamlah.” Saya memahami pesan kenabian tersebut dengan syarah, “Nabi mengajak kita untuk menanam meski akan terjadi kiamat, bukan menyuruh kita menggali hingga tercipta kiamat”.
Semoga berkenan menjadi bahan pertimbangan, Ayahanda. Saya, dari pedalaman Kalimantan ini, mendoakan ijtihad yang terbaik dihasilkan pada saatnya nanti; dari Muhammadiyah untuk negeri dan bumi, yang lebih layak untuk dihuni. Maafkan kata-kata saya, jika ada yang kurang berkenan, Ayahanda. Maklum, generasi muda ini butuh bimbingan dan keteladanan dari orang tuanya. Nashrun min Allah wa fathun qariib, Wassalamu’alaikum wr.wb.
Berau, 7 Muharram 1446 H/12 Juli 2024 M
Penulis : Rahmatullah Al-Barawi
Warga Muhammadiyah Berau, Kalimantan Timur