Jurus 2. Memperpanjang kolonialisasi, menyelamatkan para pemain
Seiring kian gencarnya penerapan co-firing, PLN membutuhkan pasokan biomassa dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Apalagi, PLN menargetkan implementasi co-firing di 52 lokasi atau 107 unit PLTU yang ada di seluruh Indonesia hingga 2025. Trend Asia mencoba menghitung luas lahan Hutan Tanaman Energi agar bisa memenuhi bahan baku pelet kayu yang diperlukan ke 107 unit PLTU itu. Ada enam skenario HTE berdasarkan jenis tanaman yang dipakai peneliti. Keenam jenis pohon kayu itu mengacu pada rekomendasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni Akasia (Acacia Mangium), Kaliandra Merah (Calliandra Calothyrsus), Gamal (Gliricidia Sepium), Eukaliptus Pelita (Eucalyptus Pellita), Turi (Sesbania Grandiflora) dan Lamtoro Gung (Leucaena Leucocephala).
Luasnya lahan konsesi yang dibutuhkan untuk HTE ini memunculkan kekhawatiran akan terjadinya pembukaan hutan alam alias deforestasi. Lebih lanjut Laporan Chatham yang memiliki nama lain Royal Institute of International Affairs itu juga mengatakan bahwa biomassa kayu memiliki kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Selain itu, kadar air biomassa kayu lebih tinggi, sehingga pembakarannya untuk energi mengeluarkan lebih banyak karbon per unit energi yang dihasilkan oleh batubara dan gas fosil. Jadi, menurut laporan itu, membakar biomassa hutan bukanlah solusi iklim, melainkan memperburuk perubahan iklim (Trend Asia, 2022).
Para pemain yang disinyalir akan menjadi konglomerat biomasa antara lain. APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar. Konglomerat ini hampir semuanya menguasai lahan dan sektor energi.
Pilihan selain berbasis lahan, ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang juga menggunakan lahan. Proyek ini akan berperan penting dalam transisi energi Singapura menuju masa depan rendah karbon dan berkontribusi terhadap pengembangan sektor energi terbarukan di Indonesia. Selain Pulau Bulan, Pulau Rempang juga akan dijadikan Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan dengan total 3.686 GW. Sumber energi terbarukan tersebut terdiri dari tenaga surya sebesar 3.295 GW, tenaga air 95 GW, bioenergi 57 GW, tenaga angin 155 GW, energi panas bumi 24 GW, dan energi laut 60 GW. Energi matahari untuk panel surya dapat dilakukan di atas air, terlebih jika terjadi masalah dengan akuisisi lahan, Indonesia memiliki luas perairan yang sangat luas, panel surya dapat dipasang pada pelampung di danau dan laut terlindung. Beberapa model pengembangan panel surya dibuat untuk penggunaan domestik, bukan untuk diekspor seperti kejadian di Pulau Bulan dan Rempang. Kebutuhan domestik akan energi terbarukan masih banyak, terutama di wilayat terluar dan terpencil. Morotai dengan program PLTSnya di lebih berhasil dibandingkan dengan proyek biomassa (PLTBm) yang bertumpu pada tanaman bambu Selain masalah permintaan dan penawaran, yang bersumber pada kebutuhan lokal, ‘kebun bambu’ dianggap hama karena menggantikan tanaman lain yang manfaatnya lebih banyak dirasakan masyarakat. Pemerintah sendiri telah mengalokasikan kawasan hutan tanaman energi 1,3 juta hektare dengan 32 perusahaan yang siap berinvestasi. 23 Kasus kegagalan program bioetanol dengan tanaman monokultur tebu yang telah merusak hutan Papua dan Mentawai tidak dijadikan pelajaran untuk memilih bauran energi terbarukan dan bagaimana hal tersebut dijalankan.
Mewariskan Kemakmuran bukan Krisis Lingkungan
Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiatives) diluncurkan pada tahun 2013, China telah meningkatkan investasi luar negerinya dan memperluas rantai nilai batubara domestiknya (terutama pertambangan, transportasi, dan pembangkit listrik) serta jejak karbon di luar perbatasannya.
Dalam beberapa studi terdapat persepsi “dua realitas” mengenai investasi infrastruktur China di luar negeri: satu di mana kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi negara tuan rumah dirayakan, dan yang lainnya, di mana masyarakat lokal terkena dampak negatif dari pembangunan ini dan menentang dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek ini (Gu, 2024). Riset yang dilakukan oleh Gu (2024) ini didasarkan pada pemetaan komprehensif dan analisis ekologi politik komparatif dari 25 kasus dalam Atlas Keadilan Lingkungan Global (EJAtlas) yang terkait dengan PLTU di Indonesia dengan keterlibatan China, termasuk pinjaman, kontrak, dan investasi ekuitas. Semua proyek ini telah menghadapi pertentangan sampai batas tertentu oleh masyarakat lokal dan/atau organisasi masyarakat sipil, yang menentang dampak sosial-lingkungan yang negatif. Berdasarkan 25 kasus ini serta 28 wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan Indonesia dan internasional, penelitian ini memperlihatkan persepsi bawah-atas tentang investasi infrastruktur bertenaga batu bara China di luar negeri, keluhan, klaim, dan repertoar pertentangan, dan hasil dari konflik tersebut.
Dibandingkan Investasi dari Negara lain, ada kekhawatiran arus bawah terhadap investasi China di Indonesia. Beberapa kejadian bencana investasi dapat dilihat dari berita berikut. Indonesia sendiri dalam catatan HAM menjadi pelaku kriminalisasi terhadap rakyatnya ketika proyek-proyek yang mengandung risiko yang kompleks dan tidak pasti ditolak oleh masyarakat karena akan merusak kehidupan mereka saat ini dan generasi mendatang.
Di China sendiri, proyek energi terbarukan menjadi masalah, seperti dalam pemberitaan tentang kerja paksa etnis Uyghur dalam proyek PLTS di Xinjiang, karena lonjakan tenaga surya yang merupakan salah satu harapan besar dalam perlombaan melawan pemanasan global bergantung pada pasokan penting polisilikon buatan Xinjiang. Beberapa negara Barat yang memimpin transisi ke energi yang lebih bersih juga menuduh pemerintah Tiongkok melakukan genosida di Xinjiang. Pada bulan Maret, AS, Inggris, Uni Eropa, dan Kanada menjatuhkan sanksi baru terhadap Tiongkok atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Amerika Serikat telah melarang impor kapas dan tomat dari wilayah tersebut.
Tidak seperti negara lain, Indonesia memiliki bauran energi terbarukan yang melimpah. Pilihan Indonesia dengan demikian bukanlah jurus ‘mengurangi kemiskinan dengan menambah polusi’. pilihan Indonesia adalah jurus ‘mengurangi kemiskinan dengan distribusi aset’ terutama akses terhadap lahan. Pengalaman negara-negara Amerika Selatan dalam Klein (2014) mengenai jebakan utang mereka (para kreditor) tidak menyediakan alternatif terhadap ekstraktivisme, tetapi hanya memiliki rencana yang lebih baik untuk mendistribusikan hasil rampasan, alternatif seperti ini dapat dilihat lewat perampasan di Papua, terbesar oleh perusahaan Freeport asal Amerika, yang kini memiliki ijin konsesi sampai cadangan emas habis33. Sementara Papua sampai saat ini masih menjadi 8 Provinsi dengan jumlah desa terbanyak dalam kategori terbelakang dan sangat terbelakang34. Hal ini dapat dilihat di suku-suku yang wilayah ulayat mereka tidak diakui kedaulatannya dan dipaksa untuk dirampas tanahnya demi kepentingan nasional industri lapar lahan dan ekstraktif. Sama seperti di China, laporan HAM terhadap konflik di Papua35 dan terakhir dalam laporan All Eyes In Papua.