Opini
Trending

Muhammadiyah dan Tambang Berkeadilan?

...Mampukah tambang Muhammadiyah menegakkan prinsip-prinsip tersebut? Saya yakin tidak. Sebab, masalahnya sangat kompleks. Industri tambang adalah bagian dari moda industri kapitalisme. Hanya dengan ideologi kapitalisme sajalah bisnis tambang menjanjikan untung besar.

Konteks

Keputusan untuk Muhammadiyah menerima tambang itu sudah bulat. Clue dilepas bertahap supaya gelombang kritik tidak meledak. Sampai titik tertentu, ini bukan lagi soal IUP tambang. Muhammadiyah sudah kaya tanpa tambang. Ini soal hubungan politik Muhammadiyah dan rezim yang lama terputus dan ingin disegarkan lagi (karena jelas menguntungkan).

Agen-agen intelektual-politik di tubuh Muhammadiyah, yang sudah mufakat dengan rezim, telah lama melakukan persiapan, seperti komunikasi balik layar, pengarusutamaan wacana, bahkan hingga stigmatisasi dan tekanan terhadap pihak-pihak yang keras menentang (kerja-kerja itu tentu saja didukung dana gelap, mari jangan berlagak pilon) Keriuhan yang kita lihat ini cuma kulitnya.

Dengan demikian, sesungguhnya, optimisme murah para pro tambang bahwa Muhammadiyah pasti mampu mengelola tambang yang ramah lingkungan dan mesti menjadi teladan bagi bangsa dalam tambang menjadi tidak relevan untuk dikaji, termasuk narasi bahwa SDA harus diolah oleh umat Islam. Semua itu cuma batu loncatan, bukan inti masalahnya.

Kendati demikian, mari tetap melawan optimisme murah itu. Setidaknya, yang bisa kita lakukan adalah menjaga warga Muhammadiyah tetap waras, agar nanti ketika tambang Muhammadiyah menyakiti kemanusiaan dan kelestarian lingkungan, warga Muhammadiyah tahu harus mendukung siapa.

Sunnah Lingkungan Berskala Komunitas

Muhammadiyah itu peneladan dan penerus sunnah. Apa yang disebut sunnah bukan hanya tentang bentuk perilaku, melainkan kegigihan yang ditunjukkan oleh Nabi (dalam mengejawantahkan kehendak Allah dan al-Qur’an) dan para sahabat (dalam mengamalkan ajaran Islam dan teladan Nabi).

Ada sunnah yang berskala individu, diterapkan oleh dan bermanfaat untuk individu. Misalnya, sunnah shalat di awal waktu meski di akhir waktu pun sah-sah saja. Ada juga sunnah yang berskala komunitas, yang mencakup hajad hidup orang banyak. Misalnya, sunnah Nabi melawan dominasi dan monopoli pasar Yahudi, dengan cara membuat pasar tandingan di Madinah. Itu dilakukan Nabi sebagai aktivis sospol dan sosek, demi hajad hidup kaum mustadh’afin.

Dalam hal lingkungan hidup, sunnahnya mencakup skala individu dan komunitas sekaligus. Sunnah individu berupa perilaku hemat energi, misalnya. Nabi telah memerintahkan dengan tegas agar umatnya tidak boros air meski untuk berwudhu. Sunnah lingkungan hidup skala individu telah banyak diulas.

Sebaliknya, sunnah lingkungan hidup skala komunitas jarang diulas karena perjuangannya beresiko. Ini soal hak masyarakat atas akses terhadap sumber energi. Ini soal kedaulatan: tanah yang mau dirampas, rumah yang mau digusur. Umat Islam wajib membelanya, minimal mendukung orang-orang yang membelanya.

Dalam sunnah lingkungan hidup berskala komunitas, Nabi dan para sahabat telah menggariskan sejumlah prinsip. Prinsip pertama adalah demokratisasi. Tambang itu urusan energi, dan menurut hukum asalnya, energi merupakan milik umum, bukan milik pribadi. Bisa saja dimiliki secara pribadi, tapi manfaatnya tetap harus didistribusikan merata. Contoh, sumur. Meski statusnya milik pribadi, akses terhadap sumur tidak boleh ditutup. Dalam sebuah hadis, Nabi melarang keras kaum Anshar memagari kebun mereka. Itu bertentangan dengan semangat Islam.

Ada juga hadis yang mengharuskan umat Islam berserikat dalam tiga hal, yaitu rumput, air, dan api; harga ketiganya adalah haram. Hadis ini terkenal, tapi sayang tidak banyak direfleksikan. Sebab, hadis tersebut mengandaikan bahwa sumber energi harus dikelola oleh warga lokal, dengan kearifan lokal, dan berdasarkan kebutuhan lokal). Sementara itu, industri tambang hari ini dikelola dengan prinsip privatisasi dan komersialisasi, dan dikuasai sepihak oleh perusahaan.

Prinsip kedua adalah prinsip anti-penindasan. Kalau al-Qur’an memperingatkan manusia tentang perilaku merusak bumi, janganlah dibayangkan pengrusakan itu merupakan keisengan belaka. Pengrusakan lingkungan hidup selalu punya konteks syahwat ekonomi, atau bahkan syahwat peradaban. Al-Baqarah ayat 11-12 mengingatkan bahwa pengrusakan lingkungan justru dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa sedang berbuat baik, tapi Allah tegaskan mereka itu sedang merusak.

Terdapat riwayat bahwa Umar bin Khattab pernah berencana memperluas masjid Nabawi. Semua warga setuju rumahnya digusur dan direlokasi dengan biaya ganti rugi yang pantas, kecuali satu orang, yaitu Abbas bin Abdul Muthallib, paman Nabi. Meski Umar menawari biaya ganti rugi dua kali lipat, Abbas kukuh tidak mau. Akibatnya, meski jengkel, Umar bersedia membatalkan rencana pemugaran masjid. Hanya karena satu orang warganya menolak! Satu saja!

Tambang Berkeadilan: Mampukah Muhammadiyah?

Mari mengerucut ke inti masalahnya. Mampukah tambang Muhammadiyah menegakkan prinsip-prinsip tersebut? Saya yakin tidak. Sebab, masalahnya sangat kompleks. Industri tambang adalah bagian dari moda industri kapitalisme. Hanya dengan ideologi kapitalisme sajalah bisnis tambang menjanjikan untung besar.

Maka, Muhammadiyah harus sadar setidaknya tiga hal:

Pertama, kapitalisme itu wajib, harus, dan pasti berproduksi secepat dan sebanyak mungkin supaya tidak mati. Karena lahan adalah alat produksi utama tambang, artinya industri tambang berideologi kapitalisme pasti akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lahan, meski itu dilakukan dengan cara-cara kotor. Untuk merampas paksa tanah rakyat, upaya adu domba, intimidasi, dan kekerasan jamak dilakukan. Ini pengalaman ril semua bisnis tambang di Indonesia selama 70 tahun lebih. Belum ada yang berpengalaman lain. Impian Muhammadiyah menambang dengan prinsip kesejahteraan sosial itu mimpi kosong, optimisme murah.

Kedua, Muhammadiyah itu belum sukses menangani kapitalisme dalam laboratorium sosialnya sendiri, yaitu amal usaha. Kampus Muhammadiyah mungkin sukses menghasilkan teknisi-teknisi yang bisa bekerja di industri tambang, tapi kita semua tahu kampus-kampus Muhammadiyah tidak punya tradisi filsafat lingkungan, debat etika lingkungan, serta kurikulum lingkungan hidup yang ideologinya ekosentris dan kerakyatan. Apa bisa teknisi memilih antara lancarnya proses produksi atau terjaminnya hak-hak hidup warga lokal?

Ketiga, Muhammadiyah itu dapat dibilang cukup anti dengan pergerakan kiri sehingga ia jauh dari kajian-kajian ilmiah terkait kerusakan lingkungan hidup akibat tambang serta kabar-kabar represi yang dialami masyarakat akar rumput. Sejak perdebatan meruak di tubuh Muhammadiyah, saya melihat orang-orang asing yang mendadak mahir bicara lingkungan, yang bertanya manakah data kerusakan lingkungan dan data warga yang dirugikan. Innalillahi, ke mana saja selama ini?

Menimbang tiga hal di atas, saya percaya kita harus mendengarkan fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bahwa meski hukum asal menambang kandungan bumi adalah mubah, industri tambang modern harus dihukumi harâm li dzâtihi (diharamkan sebagai tindakan preventif karena mudaratnya lebih banyak). Muhammadiyah tidak akan mampu mewujudkan tambang berkeadilan, karena tambang (dalam sense kapitalisme) lain badan dengan keadilan.

Kecuali Muhammadiyah mengerahkan energi kreatif dan kecendekiaannya untuk menemukan alternatif moda pemanfaatan sumber energi bersih yang berkeadilan, yang orientasinya adalah mendaulatkan energi kepada warga lokal, bukan berorientasi pada laba industri secara terpusat. Mungkin, hukum harâm li dzâtihi pada tambang dapat dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

Penutup

Muhammadiyah itu kelompok sipil, pilar ketiga negara modern selain industri dan pemerintah. Industri bertugas mengambil sumber energi dengan mode pemanfaatan minim risiko sesuai amanat undang-undan. Negara, selain mengatur mode pemanfaatan minim risiko melalui undang-undang, bertugas mendistribusi keuntungan yang diperoleh demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kelompok sipil seperti Muhammadiyah bertugas untuk mengawasi industri dan negara, sekaligus cerewet mengkritik proses yang menyimpang, bahkan melawannya.

Sudah seharusnya Muhammadiyah menolak tambang. Jangan sampai nanti Muhammadiyah, karena tekanan wajib berproduksi dan wajib berlaba itu, harus berhadapan dengan kaum mustadh’afin yang selama ini dibela Muhammadiyah sejak era KH. Ahmad Dahlan. Na’udzu billahi min dzalika. []

AS Rosyid

Penulis dua buku: "Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam" (Februari 2022), "Melawan Nafsu Merusak Bumi" (Juli 2022). Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button