Terima Tambang Batubara, Muhammadiyah Bergerak Mundur
...al-maslahah al-ammah muqaddamun 'alal maslahah al-khassah. Kemaslahatan umum atau universal itu wajib diutamakan daripada kemaslahatan pertikular.
Salah satu alasan kenapa tambang batubara harus diterima oleh PP Muhammadiyah adalah karena selama ini pertambangan batubara dikelola oleh oligarki atau pihak lain yang tidak bertanggungjawab. Dengan penerimaan ini, Muhammadiyah diklaim akan dapat memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) dalam mengelola tambang batubara. Konkretnya, dinilai akan bisa menambang tanpa merusak lingkungan, dan tidak akan melahirkan konflik sosial. Benarkah klaim itu?
Hal utama yang perlu diketahui adalah batubara merupakan energi fosil yang paling kotor. Secara global, per satu giga watt energi yang berasal dari batubara menghasilkan emisi sebesar 820 ton C02. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan engan minyak dan energi lainnya. Kontribusi batubara pada sektor energi telah membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021. Dalam Konteks krisis iklim, Bappenas mencatat, Indonesia telah mengalami kerugian sebesar 544 triliun sepanjang 2020-2024.
Lebih dari itu, satu terawatt energi yang berasal dari batubara terbukti telah membunuh lebih dari 24 orang. Di Indonesia, pencemaran Udara yang dhasilkan oleh PLTU telah menyebabkan lebih dari 123 ribu meninggal per tahun akibat polusi Udara. Lalu, sepanjang sepanjang 2023, polusi udara telah menyebabkan 8100 kematian di Jakarta dan membawa kerugian sekitar US$ 2,1 miliar. Catat dengan baik, itu baru di Jakarta saja.
WALHI mencatat, di wilayah hulunya, hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batubara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton). Indonesia dicatat sebagai negara yang menyumbang perusakan hutan sebesar 58,2 persen akibat pertambangan batubara.
Lubang tambang batubara menjadi pembunuh ratusan anak-anak yang tidak berdosa. JATAM mencatat, sejak 2014 hingga 2020 total sudah 168 korban lubang tambang yang nyawanya melayang di seluruh Indonesia. Ancaman masih ada dari total 3.092 lubang tambang yang masih menganga. Lubang tersebut berisi air beracun dan mengandung logam berat yang bahkan berada di dekat kawasan padat pemukiman.
Pertambangan batubara juga merupakan ancaman bagi wilayah pangan produktif di Indonesia. Luasan tambang batubara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk Kawasan persawahan baru. Telah ada seluas 15 persen kawasan yang diperuntukkan di wilayah perkebunan produktif juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batu bara, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.
Dari aspek kebencanaan, pertambangan batubara telah memicu banjir yang telah membunuh ribuan warga yang tidak bersalah. Secara ekonomi, Kerugian akibat bencana banjir yang melanda di wilayah Kalimantan Selatansaja pada tahun 2021 tercatat sekitar Rp1,349 triliun, dengan rincian: kerugian di sektor pendidikan sekitar Rp30,446 miliar; sektor kesehatan dan perlindungan sosial sekitar Rp27,605 miliar; sektor infrastruktur sekitar Rp424,128 miliar; sektor perikanan sekitar Rp46,533 miliar; sektor produktivitas masyarakat sekitar Rp604,562 miliar; sektor pertanian sekitar Rp216,266 miliar. Mohon dicatat, ini baru di Kalimantan Selatan pada tahun 2021 saja.
Dengan hitung-hitungan kehilangan tersebut, apakah keuntungan dari pertambangan batubara mampu mengganti dan memulihkan kerusakan dan krisis yang berlapis-lapis tersebut? jawabannya tentu tidak. Berbagai kerusakan itu tidak pernah dipulihkan, apalagi hanya lewat CSR.
Pada titik ini, sangat tidak masuk akal jika Muhamamdiyah -sebagai Gerakan Islam modernis terbesar di dunia- menerima tambang batubara. Perserikatan yang didirikan pada 1912 ini, memiliki jargon gerakan pembaharuan dan pencerahan. Tetapi dengan menerima konsesi tambang batubara, jargon sebagai gerakan pembaharuan dan pencerahan ini patut dipertanyakan. Bahkan dapat dikatakan Muhammadiyah sedang bergerak mundur jauh ke belakang.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Dr, Phil, Ridho al-Hamdi, pernah menyebut bahwa saat ini Muhammadiyah mengembangkan gagasan al-Maun Hijau sebagai sebuah ijtihad terkini di Muhammadiyah. Mengapa itu penting dilakukan? karena saat ini masyarakat Indonesia tengah menhadapoi eksploitasi sumber daya alam telah berhasil dilakukan di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, dan saat ini sedang menyasar kawasan Indonesia Timur. Pemerintah telah memberikan izin skala besar untuk pertambangan, izin pembukaan hutan, eksploitasi pesisir-laut-pulau kecil dalam rangka memenuhi target investasi. Dampak dari itu, terjadi degradasi lingkungan hidup yang parah serta mempercepat bencana banjir dan tanah longsor.
Bahkan, Ketua LHKP PP Muhammadiyah itu, seraya mengutip pandangan Fransz Broswimmer (sosiolog lingkungan Universitas Hawai), menyebut beragam kerusakan itu sebagai fenomena ekosida, yaitu pembunuhan dan pemusnahan terhadap sebuah ekosistem termasuk mereka yang ikut serta dalam membuat kebijakan dan mengonsumsinya secara masif. Praktik ekosida dilakukan secara sistematis, yang menyebabkan musnahnya fungsi ekologis, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Secara tegas, Ridho al-Hamdi menyerukan, jika ditafsirkan dengan menggunnakan perspektif Al-Ma’un, adalah bagian orang-orang yang mendustakan agama. Di dalam Surat Al-Ma’un disebutkan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak memedulikan anak yatim dan orang miskin. Karena itu, mereka yang menghilangkan sumber kehidupan anak yatim dan orang miskin, di mana sumber kehidupan tersebut berasal dari alam semesta, itu termasuk orang yang juga mendustakan agama. Meskipun mereka salat, tetapi menjadi bagian perusak alam dan mendukung UU yang menghancurkan alam, tidak ada gunanya salat mereka. Karena hakikat sejati dari salat ialah menjaga alam, bukan merusak alam.
Dengan demikian, tambah Ridho al-Hamdi, segala tindakan yang mengarah pada pembunuhan lingkungan hidup maupun pemusnahan alam yang berdampak pada rusaknya sumber kehidupan bagi generasi berikutnya termasuk anak yatim dan orang miskin adalah orang-orang yang mendustakan agama. Karena itu, teologi Al-Ma’un harus kita wujudkan tidak hanya berhenti pada tataran keyakinan, tapi juga aksi nyata yang melahirkan generasi manusia yang mencintai alam semesta.
Jika berhenti pada titik ini, Kita dapat menyebutkan bahwa penerimaan Muhammadiyah terhadap tambang batubara sesungguhnya bertentangan dengan semangat teologi al-Maun, khususnya al-Maun hijau. Inilah gerakan mundur Muhammadiyah yang selanjutnya.
Selanjutnya, jika dikatakan tambang batubara diklaim akan memberikan keuntungan bagi perserikatan secara ekonomi, maka itu adalah kemaslahatan yang bersifat partikular (al-maslahah al-khassah). Seharusnya para pemimpin Muhammadiyah di PP lebih mempertimbangkan kemalahatan yang bersifat umum atau universial (al-maslahah al-ammah), yang dicirikan oleh Indonesia serta bumi yang terjaga secara lestari, ekonomi yang berdimensi jangka Panjang dan berdaya pulih, serta generasi yang akan datang dapat hidup dalam keadaan sehat dan baik yang ditopang oleh alam yang lestari sehingga mereka dapat beribadah, bekerja dan mengabdi pada tugas-tugas kemanusiaan universal.
Pada akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan kaidah ushul fikih yang relevan dan semoga dipertimbangkan oleh para pemimpin di PP Muhamamdiyah. Kaidah itu berbunyi: al-maslahah al-ammah muqaddamun ‘alal maslahah al-khassah. Kemaslahatan umum atau universal itu wajib diutamakan daripada kemaslahatan pertikular.
Indonesia serta bumi yang terjaga secara lestari, ekonomi yang berdimensi jangka Panjang dan berdaya pulih, serta generasi yang akan datang dapat hidup dalam keadaan sehat dan baik adalah kemaslahatan umum atau universal. Sementara, keuntungan ekonomi tambang batubara bagi perserikatan adalah kemaslahatan partikular.
Jika PP Muhamamdiyah lebih memilih kemaslahatan partikular, maka sejarah akan mencatat bahwa perserikatan ini benar-benar memang sedang bergerak mundur. atau mungkin akan menjadi bagian dari oligarki yang selama ini kita kritik. wallahu a’lam