Opini

KARENA KAMI SAYANG, KAMI MENYAYANGKAN

Oleh: AS Rosyid, warga Muhammadiyah

Pertama-tama, saya, seorang anak Muhammadiyah, juga bersama saudara-saudara saya yang lain di Muhammadiyah yang telah lama bergerak di isu lingkungan hidup, ingin mengapresiasi ayahanda-ayahanda yang telah melalui perdebatan yang saya yakin cukup alot dalam memutuskan apakah Muhammadiyah akan masuk ke gelanggang tambang atau tidak. Saya yakin ayahanda sekalian telah menyimak suara-suara yang keberatan dengan itu. Namun, apakah suara-suara tersebut benar-benar dijadikan pertimbangan atau tidak, tentu itu soal lain.

Kedua, saya bersama anak-anak Muhammadiyah lainnya ingin menyampaikan keberatan terhadap sejumlah argumen yang berseliweran selama ini, yang mungkin akan digunakan oleh Muhammadiyah dalam memutuskan ikut serta menerima IUP tambang. Keberatan ini akan saya rangkum dalam 7 (tujuh) poin sebagai berikut:

  1. Rapat pleno digadang-gadang melakukan kajian yang mengakomodasi berbagai masukan secara komprehensif dari para ahli pertambangan, ahli hukum, majelis dan lembaga di lingkungan Muhammadiyah, pengelola dan pengusaha tambang, ahli lingkungan hidup, perguruan tinggi, dan pihak-pihak terkait. Saya menyayangkan, dalam pihak-pihak terkait itu sampai saat ini tidak ada perwakilan dari warga terdampak langsung di tapak tambang, yang selama ini menderita karena tambang. Dampak mode produksi tambang pada lingkungan hidup bukanlah satu-satunya masalah. Moda penguasaan lahan dan ketimpangan relasi politik-ekonomi yang ditimbulkan oleh tambang itu juga merupakan masalah yang tidak mungkin dihindari oleh Muhammadiyah selama logika tambang yang digunakan Muhammadiyah ditarik dari ideologi kapitalisme.
  2. Rapat pleno sampai kemarin juga tidak transparan mengenai data ilmiah yang dijadikan sandaran untuk memutuskan menerima tambang atau tidak. Padahal, data ilmiah itu bisa disebarluaskan sebelum pleno dilakukan, sehingga dimungkinkan adanya dialog, kritik dan perbandingan untuk memutuskan apakah data itu layak dijadikan sandaran atau tidak. Saya menyayangkan ada kesan bahwa Muhammadiyah berusaha meredam kritik dengan dalih meredam keributan, padahal kritik bukanlah keributan.
  3. Memang kekayaan alam merupakan anugerah Allah yang pada manusia diberikan wewenang untuk mengelola dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidup material dan spiritual, dengan catatan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan itu tetap menjaga keseimbangan dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi. Persoalannya, moda produksi tambang modern berideologi kapitalis sampai kapanpun tidak akan sebangun dengan keseimbangan dan kesejahteraan seluruh makhluk di muka bumi. Dalam konteks negara tropis yang subur di Indonesia, dengan bentang alam yang telah terbentuk secara alami menyesuaikan kebutuhan ekologis setempat, tidak ada kepentingan untuk mengidentikkan kata “kekayaan alam” hanya dengan mineral dan kata “pengelolaan” hanya dengan tambang. Justru kehadiran tambang akan merusak keseimbangan yang telah didesain oleh Allah. Allah telah berfirman, wa lâ tufsidû fi al-ardhi ba’da ishlâhihâ. Janganlah kita merusak bumi setelah perbaikannya, setelah pembentukannya yang natural dan sesuai kebutuhan.
  4. Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan (9 Juli 2024) memang menyatakan bahwa al-ta’dîn atau tambang (kegiatan ekstraksi mineral dari perut bumi) berhukum asal mubah atau boleh. Saya menyayangkan kenapa catatan bahwa tambang dapat menjadi harâm li sadd al-dzarî’ah (haram sebagai tindakan preventif karena mudaratnya lebih besar) terkesan kurang telaten dikaji. Sebab, dalam pengalaman panjang membersamai warga di tapak tambang, konflik agraria akibat industri ekstraktif energi kotor serta kekerasan struktural dan kultural merupakan pemandangan empirik yang tidak terhindarkan. Kenapa tidak fokus pada pengalaman tersebut?
  5. Benar bahwa pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, bukan berarti karena negara menawarkan kesempatan untuk mengelola tambang, Muhammadiyah turut serta dalam bisnis energi kotor ini. Justru karena jasa besar bagi bangsa dan negara, saya berpendapat Muhammadiyah mestinya menggunakan marwah tersebut sebagai pemberi peringatan saat negara dan industri tambang bertindak inkonstitusional, melukai hak asasi manusia, dan mengganggu kelestarian lingkungan dan akses terhadap ruang hayat bersama. Muhammadiyah adalah kekuatan sipil, bukan pengusaha.
  6. Benar bahwa Keputusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015 mengamanatkan Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah di bidang ekonomi dan sektor industri. Namun, kenapa harus tambang? Bukankah pada muktamar yang sama Muhammadiyah juga diamanatkan untuk menghindarkan masyarakat dari krisis iklim? Krisis iklim tidak bisa dihindari hanya dengan gerakan menanam pohon. Dengan kekuatan sipil sebesar yang dimiliki Muhammadiyah, yang seharusnya dilakukan justru melepaskan diri dari moda produksi energi kotor, tidak mengikuti logika tambang yang kapitalistik, dan berdiri di barisan korban, gigih membela warga negara, bukannya bermesra-mesraan dengan rezim. Korban tambang adalah kaum mustadh’afin, kaum terlemahkan, yang dibela melalui teologi al-Ma’un oleh pendiri Muhammadiyah dan para muridnya.
  7. Niat Muhammadiyah amatlah mulia. Saya sebagai anak Muhammadiyah mengapresiasi kehendak Muhammadiyah untuk melakukan terobosan mutakhir dalam tambang: sebuah moda produksi yang tidak merusak lingkungan hidup, yang tidak menyebabkan konflik horizontal dan vertikal di tengah masyarakat, serta mengandaikan kebijaksanaan ilmu pengetahuan dari kampus-kampus yang dapat membimbing dan menjinakkan syahwat laba perusahaan sementara ideologi bisnisnya masih kapitalisme. Namun, berdasarkan pengalaman di lapangan, niat sebesar itu butuh tekad orang gila untuk mewujudkannya. Saya sungguh ragu tawaran IUP tambang yang sepenuhnya bisa dicurigai sebagai cara rezim menjinakkan kekuatan sipil ini bisa menjadi titik tolak yang ideal untuk mewujudkan niat mulia tersebut.

Saya, dan anak-anak Muhammadiyah lainnya, tidak akan berhenti berusaha mengingatkan Muhammadiyah akan fitnah politik yang sedang bagi-bagi jatah. Diskusi akan terus berjalan meski keputusan sudah dibuat. Wacana Islam anti-tambang (tambang dalam sense kapitalisme) harus terus digalakkan. Pun demikian bila nanti tambang Muhammadiyah mengancam ruang hayat dan hak asasi masyarakat, entah itu warga Muhammadiyah atau bukan, peringatan akan tetap harus dilakukan.

Karena kami sayang, kami menyayangkan. Karena kami sayang, kami memperingatkan. Kami percaya Muhammadiyah menghormati pendapat lain di dalam tubuhnya. Keputusan organisasi harus dihormati, tapi semua harus insyaf bahwa keputusan itu sifatnya tidak mutlak, sebab ia bukan ijma’. Keputusan organisasi masih bisa berubah, dan secara historis Muhammadiyah melakukannya. Maka, kami berkomitmen untuk tetap menggaungkan narasi alternatif. []

AS Rosyid

Penulis dua buku: "Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam" (Februari 2022), "Melawan Nafsu Merusak Bumi" (Juli 2022). Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button