Tambang Ormas: Kegagalan Agama (Islam) Menjadi Dasar Etika Lingkungan
Jika agamawan tidak pernah mengambil peran ini, maka umat akan lebih lama lagi mengalami kegagapan kesadaran kritis ekologi.
Bisa jadi judul di atas terlalu kasar. Anggap saja ini sebagai luapan frustasi saya pada kondisi beberapa hari ini pascakeputusan penerimaan izin usaha pertambangan oleh Muhammadiyah pada Minggu lalu.
Hal lain, ide tulisan ini bisa jadi juga terlalu berlebihan dalam membuat kesimpulan. Namun, sebuah penelitian dengan metode survei dari Pusat Penelitian dan Pengkajian Masyarakat (PPPM) UIN Jakarta menunjukkan nada serupa.
Penelitian berjudul Green Islam Setengah Hati? menunjukkan beberapa hasil yang masih meragukan ide teo-ekologi. Salah duanya membicarakan isu tentang tanggung jawab lingkungan dan cara perubahan perilaku kelestarian yang masih berpusat pada kesalehan pribadi —nanti saya akan kembali lagi ke sini.
Hal lain yang disebutkan dalam penelitian ini dan berkorelasi dengan penerimaan tawaran bisnis tambang oleh ormas Islam adalah ke-tidak-sinkron-an antara kesadaran lingkungan dan pilihan usaha ekonomi.
Mayoritas Muslim setuju bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan disebabkan pertambangan. Namun, dengan alasan material, mereka juga sepakat ormas Islam untuk menjalankan bisnis pertambangan.
Pembacaan terhadap fenomena tambang ormas dan kesadaran Green Islam yang masih setengah hati, saya coba baca dengan konteks lebih luas. Dugaannya, ini adalah indikasi bahwa agama Islam selama ini tidak berhasil untuk menjadi basis etika kesalehan sosial dan lingkungan.
Etika lingkungan dicari dimana?
Pengajaran agama Islam warga Muslim Indonesia yang selama ini diasuh dan ditransfer lewat Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tampaknya masih gagal dalam merespons masalah keumatan aktual, seperti kerusakan lingkungan.
Padahal, terdapat kenyataan bahwa petani pisang di Pakel, Banyuwangi, mengeluhkan yang cuaca tidak menentu menyebabkan buah tidak berkembang. Pun petani jagung lahan kering Tuban yang keheranan dengan masifnya invasi ulat pemakan tanaman. Bahkan, nasib para tunawisma kota yang harus menghadapi gelombang panas tinggi pada musim kemarau.
Pada tataran masyarakat, ketiga masalah di atas, baik disebabkan perubahan biosfer global maupun kerusakan ekosistem tempatan, masih kesulitan dalam memilih istilah untuk menyebut fenomena tersebut.
Penamaan atas kondisi perubahan itu saja seakan masih menjadi fenomena “gaib” yang tidak diucapkan dalam satu penyebutan universal, apalagi memikirkan cara penyelesaiannya.
Pada contoh petani jagung Tuban di atas, penanganan masalah hama oleh masyarakat dikerjakan dengan menambah dosis obat kimia pembunuh hama. Akan tetapi, langkah tersebut justru berbuntut pada kerusakan tanah.
Bukannya petani tidak memahami akar masalah peningkatan populasi ulat di lahan pertaniannya. Mereka jelas memahami bahwa itu disebabkan oleh ekspansi lahan besar-besaran oleh pertambangan semen di sebelah lahan pertanian mereka.
Namun, tidak ada gerakan penyelesaian masalah dalam bentuk lebih holistik. Pun pemuka agama yang juga merupakan bagian dari kelompok petani tidak melihat fenomena ini sebagai masalah untuk diselesaikan bersama. Isi pengajian agam sehari-hari melulu monoton membicarakan kesalehan pribadi.
Di samping itu, permasalahan semacam ini pada skala-skala kecil di lingkup desa, hampir tidak pernah dianggap sebagai masalah bersama yang mesti diatasi orang-orang kota juga. Kerusakan lingkungan di desa dan kemiskinan masyarakat di sana dianggap bukan menjadi bagian dari masalah keumatan bersama.
Padahal menurut saya, kelebihan teo-ekologi ialah pemahaman mendasar tentang menjaga kelestarian lingkungan sekaligus bersolidaritas kepada sesama umat manusia (didalami lewat QS Ar-Rum 39-41). Dalam gelombang pemikiran gaya Barat mungkin berpadan dengan konsep ekososialisme (ekologi-sosialisme).
Kalaupun selama ini ada upaya untuk membantu umat duafa dan mustadafin di lokasi krisis sosio-ekologis, bantuannya disalurkan melalui zakat dan sedekah dengan sifat karitas. Malahan skema wakaf tujuannya melulu hanya untuk peruntukan bangunan masjid. Padahal, wakaf tanah guna peruntukan restorasi lingkungan ataupun reforestasi mendesak untuk dikerjakan, serta untuk wafak petani tak bertanah. Hal lain, skema dan saluran-saluran keagamaan jarang sekali mengambil langkah sikap kritis atau advokasi sebagai jalan jihad memperjuangkan hak lingkungan.
Agamawan dalam masyarakat kita memiliki posisi penting. Suara agamawan masih menempati posisi prioritas sebagai sumber pengetahuan masyarakat serta pemimpin gerakan (baca contoh Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial; Kevin Fogg, Spirit Islam dalam Revolusi Indonesia).
Lembaga keagamaan juga paling dipercaya dalam urusan distribusi kekayaan melalui filantropi agama. Dengan demikian, peran sentralnya dalam mengasuh pengetahuan warga pada berbagai hal mendesak dilakukan, termasuk juga isu lingkungan.
Jika agamawan tidak pernah mengambil peran ini, maka umat akan lebih lama lagi mengalami kegagapan kesadaran kritis ekologi. Petani-petani akan lebih lama lagi mengalami perampasan lahan, kerusakan tanah, kerugian hasil pertanian, dan masalah-masalah lain.
Kegagapan ekologi juga bisa berdampak pada ketiadaan perasaan bersalah atas segala perilaku merusak lingkungan. Lebih dalam, pemahaman atas bentuk-bentuk perilaku yang merusak lingkungan berdasarkan teks-teks keagamaan juga harus digali dan disampaikan kepada khalayak.
Jika agamawan tidak pernah mengambil peran ini, filantropi agama tidak akan pernah dialokasikan untuk perbaikan sungai, reforestasi hutan, menahan laju kepunahan biota, kedaulatan pangan dan energi, hingga penurunan emisi karbon.
Lalu, jika agamawan tidak berperan menyajikan kajian lingkungan, mengajarkan kesalehan sosial dan kesalehan ekologis, serta memfasilitasi filantropi untuk mengatasi krisis lingkungan, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa agama telah gagal menjadi dasar etika lingkungan.
Lantas, dimana orang-orang bisa menemukan prinsip-prinsip etika lingkungan sebagai landasan untuk memperhatikan lingkungan? Bukankah agama selama ini dianggap tidak untuk mengerjakan persoalan itu?
Jurang antara pengetahuan lokal dan kolonialisme
Agama dan seperangkat institusi serta teks-teks suci seharusnya bisa memberi landasan etika lingkungan kepada umat yang tengah dilanda krisis. Namun, hari ini agama, organisasi keagamaan, dan teks suci tak ubahnya hanya menjadi institusi dan alat para elite. Tidak ada tempat bagi suara rakyat-rakyat kecil di sana.
Akhirnya, kita semua yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup “merantau” kepada ilmu-ilmu sains Barat. Sebagian lainnya, kembali pulang kepada sumber-sumber pengetahuan lokal yang sering kali dianggap takhayul oleh pemuka agama puritan. Lalu, ada pula sebagian sisanya berebut legitimasi ayat-ayat suci tentang alam raya yang dilupakan oleh elite-elite agamawan.
Keterasingan sebagian warga Muslim Indonesia pada etika lingkungan berlandaskan teologi Islam pernah saya dapati beberapa kali. Salah satunya ketika beberapa kawan Kader Hijau Muhammadiyah sedang berdiskusi lepas tentang kondisi krisis sosio-ekologis di berbagai daerah bersama teman dari salah satu kampus Muhammadiyah.
Lalu, ia heran dengan kami yang membicarakan permasalahan tersebut dengan sudut pandang teologi Al-Maun. Menurutnya, selama ini ia lebih umum mendapati isu krisis sosio-ekologis dibaca dengan kacamata perjuangan kelas dari turunan Marx ataupun teologi pembebasan pemikir Amerika Latin. Baginya, pandangan teologi Al-Maun untuk krisis sosio-ekologi belum banyak dibicarakan kawan sepermainan di kampusnya ataupun oleh dosen-dosennya.
Kejadian kedua, ketika mengikuti sebuah kursus musim panas tentang sejarah lingkungan seorang pemateri Faizah Zakaria membicarakan satu bagian dari bukunya The Camphor Tree and the Elephant. Satu bagian tersebut menggali tentang sumber-sumber etika konservasi dan pemeliharaan gajah dari teks-teks kuno Melayu yang dipengaruhi oleh teologi Islam.
Sebagain besar peserta dan pengampu kelas lain terheran dengan bukti tersebut. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa Melayu yang kental dengan pengaruh pemikiran Islam juga memiliki ide konservasi. Maklum, selama ini pengetahuan dan cara konservasi lingkungan dilegitimasi oleh pemikiran Barat.
Kegagapan pada teo-ekologi Islam nyata masih terjadi dan ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bersama. Dalam hemat saya, urgensi mengampanyekan teo-ekologi Islam pada konteks Indonesia sampai kepada tataran perilaku dapat menjembatani jurang. Jembatan antara ekosentrisme pengetahuan lokal yang sudah dianggap banyak orang kuno dan “kolot” dengan pengetahuan Barat yang cenderung antroposentris.
Dalih Green Tambang yang Berarti Setengah Hati pada Lingkungan
Saat oknum elite Muhammadiyah menyampaikan niat untuk ikut menambang bersama Bahlil dan oligarki, dalil bahwa mereka akan menyejaterakan rakyat dan menambang dengan ramah lingkungan (green mining) adalah sinyal kematian lingkungan bagi saya.
Bukan saja para agamawan ini jelas-jelas sedang membohongi publik, tetapi juga menunjukkan bahwa pemahaman atas falsafah lingkungannya tidak terbangun secara menyeluruh.
Bahkan, landasan argumentasi tambang hijau-nya biasanya dilandasi atas ayat-ayat Alquran tentang hak mendapat rezeki dari sumber daya alam (QS. Al-Hijr:19-20). Ayat-ayat tentang peran “khalifah” dielu-elukan sebagai landasan untuk menguasai sumber daya alam.
Penghayatan terhadap lingkungan semata-mata dianggap sebagai benda mati yang bebas dikeruk, ditebang, dan dijual. Untuk selanjutnya, uang hasil penjualan bisa disalurkan guna kesejahteraan masyarakat. Sungguh, pandangan industrialis dengan konsep trickle-down effect ini sudah terbukti gagal hampir di semua tempat, justru malah memiskinkan lingkungan dan masyarakat setempat.
Demikian dulu tulisan singkat ini saya ungkapkan. Sebenarnya, ada segudang argumen dari saya untuk menyuarakan penolakan tambang dan menyatakan kegagalan agamawan menjadi Islam sebagai landasan etika lingkungan. Mohon maaf juga jika kalimatnya melompat-lompat.
Penulis: Yayum Kumai (Pemerhati Lingkungan dan Pendidikan)