Sinetron A la PP Muhammadiyah Dalam Menerima Tambang
PP Muhammadiyah sebagai lembaga publik telah mengabaikan suara publik dengan hanya mengakomodir kepentingan segelitir, tanpa mempertimbangkan kritikan hingga masukan dari anggota Muhammadiyah maupun jejaring advokasi.
Mengenai sikap PP Muhammadiyah yang pada akhirnya menerima tambang, boleh dikatakan mirip sebuah drama elektronik televisi atau dikenal dengan sinetron. Seperti alur sinetron yang mudah ditebak namun menghabiskan waktu. Begitu pula dengan PP Muhammadiyah, harus berputar-putar mengkaji, menimbang dan mencari argumentasi yang ujung-ujungnya untuk membenarkan jalan menerima konsesi tambang.
Sinetron juga menawarkan alur cerita yang cukup menguras emosi, kita dipaksa mengikuti alur yang seolah-olah sesuai yang diharapkan, lalu tiba-tiba di akhir penonton dibuat marah-marah. Kita andaikan sinetron bernama Tersanjung atau Cinta Fitri, di mana perasaan penonton dimainkan. Ada tokoh utama yang mati, lalu hidup lagi, lalu hidup bahagia, lalu hidup sengsara, lalu hidup bahagia, begitu terus sampai akhirnya bahagia dan tamat.
Begitu pula dengan sikap PP Muhammadiyah, ketika Nahdlatul Ulama (NU) dengan tegas menyatakan menerima konsesi, alasannya pun lugas bahwa mereka butuh dana untuk organisasi. Sementara PP Muhammadiyah harus mencari berbagai alasan. Dari mengeluarkan narasi pertambangan hijau, lalu mengeluarkan narasi bahwa lebih baik anak negeri yang mengelola dan terakhir menjadikannya sebagai sebuah laboratorium atau tempat kajian untuk menunjukkan pengelolaan tambang yang ramah lingkungan.
Mempertanyakan Pertimbangan PP Muhammadiyah
Drama mengenai PP Muhammadiyah menerima tambang patut ditelisik lebih mendalam. Mereka menerima konsesi tambang dengan pertimbangan untuk kebaikan semua orang. PP Muhammadiyah beralasan mereka ingin menunjukkan ke publik terkait bagaimana mengelola tambang yang ramah lingkungan dan berprinsip hijau. Tentu pertimbangan tersebut tidak lugas serta menunjukkan jika mereka ingin dilihat publik, jikalau alasan menerima tambang bukan soal uang.
Sebelum menyatakan sikap dengan alasan seperti yang telah diungkap di atas, paling tidak telah banyak masukan hingga pertimbangan agar PP Muhammadiyah tidak gegabah dalam menerima pertambangan. Baik pertimbangan dari segi politis, di mana pemberian konsesi merupakan hal yang tidak patut karena melanggar sejumlah regulasi serta sarat muatan politis.
Lalu pertimbangan secara ekonomis, di mana PP Muhammadiyah tidak memerlukan tambang untuk menambah pundi-pundi organisasi, sebab PP Muhammadiyah sudah memiliki sumber dana yang kuat, baik dari anggotanya, maupun dari lini sektor bisnis sosial seperti di bidang kesehatan dan pendidikan. Mereka tinggal menguatkan dan mencari jalan lain yang lebih baik daripada menambang, seperti pengembangan UMKM, mengembangkan usaha di sektor pangan dan mungkin sektor wisata.
Terakhir pertimbangan ekologis, dimana PP Muhammadiyah seharusnya paham bagaimana mereka tahu terkait dampak pertambangan khususnya batu bara selama ini. Pertambangan batubara sifatnya ekstensif atau membutuhkan ruang yang luas untuk mengekstraksi fosil, membabat hutan dan mengeruk bumi. Dampaknya pun bukan main, dari rusaknya kawasan hutan, sumber air bahkan sumber pangan. Produk batu baranya pun bermasalah, menjadi sumber energi kotor yang mencemari lingkungan.
Tentu PP Muhammadiyah dapat melihat hal tersebut secara bijak, apalagi mereka telah mengeluarkan fikih air, tentu itu bisa menjadi argumen yang cukup untuk menolak pertambangan. Serta berpikir mengapa Negara sampai mau repot-repot memberikan konsesi tambang, apa kira-kira kepentingannya. Jika untuk mensejaterahkan rakyat kenapa harus tambang?
Bukankah kebutuhan rakyat itu pendidikan murah dan berkualitas baik, pangan murah dan gampang dijangkau, layanan kesehatan murah dan berkualitas serta adanya kepastian perlindungan usaha bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta bagi para buruh. Dan, tidak dibebani dengan pajak serta iuran yang tidak masuk akal, seperti Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA).
Mengabaikan Suara Publik untuk Kepentingan Elite
PP Muhammadiyah benar-benar membuat kecewa publik, terutama mereka yang tidak setuju dengan konsesi pertambangan untuk ormas. Hampir kebanyakan publik yang tidak setuju merupakan anggota Muhammadiyah dan jejaring rakyat yang pernah diadvokasi oleh entitas Muhammadiyah. Mereka adalah orang-orang yang tengah berjuang menolak tambang ataupun korban tambang. Seperti suara dari Trenggalek, Jawa Timur, Kalimantan Timur, lalu Wadas Jawa Tengah.
Mereka berharap PP Muhammadiyah menujukkan sikap tegas menolak tambang, serta tetap menjadi pengayom yang dapat menjadi rumah bagi mereka yang mengalami ketidakadilan. Bahkan jauh sebelum itu, organisasi di dalam PP Muhammadiyah sempat memberikan pertimbangan untuk menolak, seperti Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah hingga Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, yang telah menyampaikan pandangan dari segi hukum, HAM dan ekologis.
Lalu juga ada masukan dari beberapa akademisi, terutama beberapa individu yang menjadi bagian dari Majelis Tarjih Muhammadiyah yang telah memberikan pandangan dari segi fikih dan ekologi, mengapa PP Muhammadiyah tidak perlu menerima konsesi pertambangan. Tetapi responsnya justru berbanding terbalik, bahkan sempat ada tanggapan yang tidak konstekstual dan sesat logika dengan menyebut mereka yang menolak adalah LSM kiri.
PP Muhammadiyah sebagai lembaga publik telah mengabaikan suara publik dengan hanya mengakomodir kepentingan segelitir, tanpa mempertimbangkan kritikan hingga masukan dari anggota Muhammadiyah maupun jejaring advokasi. Bahkan menstigma mereka merupakan sikap yang sangat disayangkan. Padahal PP Muhammadiyah harusnya dapat menjadi contoh bagaimana lembaga publik lebih mengutamakan suara publik serta realitas di lapangan, daripada tersandera oleh kepentingan politik, yang sesungguhnya itu jauh dari semangat teologi Al-Maun KH. Ahmad Dahlan.
Penulis : Wahyu Eka Styawan (WALHI Jatim)