Tercemarnya Konsistensi Gerakan Lingkungan Muhammadiyah akibat Menerima Izin Pengelolaan Tambang
.... di masa mendatang PKO tidak lagi dikenal sebagai Penolong Kesengsaraan Oemoem, melainkan Penambah Kesengsaraan Oemoem. Penambah Kesengsaraan Oemat. Penambah Kesengsaraan Orang.
“Sialan!” sambat saya ketika pertama kali membaca berita terkait sikap Muhammadiyah yang menerima izin pengolahan tambang.
Selain merasa jengkel dan kecewa, sejujurnya saya sangat malu dengan sikap Muhammadiyah yang seperti itu. Bagaimana tidak, sekitar sebulan yang lalu ketika Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan untuk menerima izin tambang, bahkan merevisi fatwanya terdahulu yang menyebut eksploitasi SDA (baca: mengelola tambang) sebagai aktivitas haram, saya masih larut menertawakan dan me-roasting teman-teman Nahdiyin yang tidak lagi pro lingkungan, penghamba kekuatan, serta pengkhianat rakyat.
Bak roda kehidupan yang terus berputar, olok-olok tersebut kini berbalik menghujani saya, bahkan lebih buruk dari itu, skripsi yang sedang saya garap juga terancam gagal alias ganti judul karena sikap Muhammadiyah yang demikian. Sudah jatuh, ditimpa tangga.
Terkagum-kagum dengan Sejarah Gerakan Lingkungan Muhammadiyah.
Dalam sesi wawancara dengan aktivis lingkungan Muhammadiyah, Ibu Hening Parlan, saya begitu kagum sekaligus bangga dengan semangat jihad ekologi ala Muhammadiyah di masa awal-awal pembentukannya. Bertepatan dengan momen letusan Gunung Kelud 1918, Muhammadiyah melalui gerakan sayap kanannya, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), aktif mengoordinasi bantuan, berupa uang, bahan makanan, serta tenaga medis kepada para korban letusan gunung.
Tidak sekadar membantu, kesadaran Muhammadiyah untuk berjejaring dan bersolidaritas dalam Komite Kelud 1918 (berisikan lembaga-lembaga sosial dan keagamaan Eropa-Pribumi) juga patut diapresiasi. Sebagai gerakan pembaharuan, Muhammadiyah sama sekali tidak menutup diri ataupun mengeksklusifkan gerakannya pada satu golongan saja. Sebaliknya, Muhammadiyah sangat terbuka dalam bekerja sama dengan semua kalangan sebagai implementasi dakwah amar makruf nahi munkar-nya.
Selain momen letusan Gunung Kelud 1918, Muhammadiyah juga melakukan berbagai bentuk advokasi menyangkut persoalan lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan sosial akibat kebijakan pemerintah kolonial yang menindas. Sebagai contoh, Muhammadiyah memberi layanan klinik kesehatan dan panti sosial untuk para tenaga kerja yang tenaga serta lahan pertanian atau perkebunannya dieksploitasi habis-habisan oleh pemerintah kolonial. Layanan ini diberikan secara gratis tanpa memandang ras, golongan, atupun agama. Hebatnya lagi, Muhammadiyah tidak hanya melibatkan orang-orang pribumi dalam kegiatannya ini, melainkan juga para dokter Belanda ikut dilibatkan.
Nilai inklusif dan saling tolong-menolong ini didapat dari spirit Al-Ma’un yang konsisten didakwahkan oleh Kyai Ahmad Dahlan kepada seluruh pengikutnya. Spirit Al-Ma’un inilah yang disebut oleh Abdul Munir Mulkhan sebagai “teologi humanis” karena berhasil membawa dan mempengaruhi penganutnya (warga Muhammadiyah) melakukan berbagai aksi nyata yang bermanfaat bagi sekelilingnya, termasuk ke soal kesadaran menjaga lingkungan hidup.
Melengkapi spirit Al-Ma’un yang telah menjadi pegangan hidup dan bergarak warga Persyarikatan, pasca Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, Muhammadiyah menerbitkan sebuah buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dan Teologi Lingkungan. Kedua buku ini dibuat secara khusus dalam usaha menajamkan ideologi dan wawasan lingkungan ke seluruh muslim untuk memperlakukan lingkungan sesuai ajaran Islam. Puncak dari komitmen Muhammadiyah ke isu-isu lingkungan dibuktikan dengan berdirinya Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPL) tahun 2004 yang dikemudian hari dikenal sebagai Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah.
Dengan kelengkapan serta kemewahan instrumen gerakan lingkungan yang Muhammadiyah miliki (basis historis, spirit teologi, panduan hidup dan bergerak, sampai dengan lembaga formal) rasa-rasanya tak ada alasan untuk tidak bangga dengan komitmen Muhammadiyah dalam menjaga lingkungan, kecuali satu hal, yaitu soal penerimaan izin pengelolaan tambang.
Mengapa Harus Tambang?
Sejauh pengamatan saya, Muhammadiyah memiliki banyak sekali program inovatif berkaitan dengan lingkungan. Sebut saja Green School, Green Campus, Sedekah Sampah, Eco Village, Eco Bhinneka, Program Transisi Energi, Konservasi Lingkungan, dan lain sebagainya.
Ketika organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan yang lain masih sibuk dengan urusan-urusan dakwah dan pembinaan, jihad ekologi yang dilakukan Muhammadiyah sudah bergeser ke solusi dan dampak baik yang dihasilkan. Bayangkan jika 5.369 sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah dikelola berdasarkan konsep Green School/Campus, apa tidak hijau dan bersih lingkungan sekelilingnya?
Bayangkan jika 60 juta warga Muhammadiyah melaksanakan sedekah dan pemilahan sampah secara teratur, berapa ton timbulan sampah di Indonesia yang akan berkurang setiap harinya? Bayangkan lagi jika desa-desa yang mayoritas penduduknya Muhammadiyah sudah menerapkan standar Ecology Village dalam kehidupannya, tentu bukan hanya penduduknya yang semakin sehat dan bahagia, tetapi juga segala hasil pangan, air, dan udaranya pastilah ikut berkualitas.
Sayangnya, semua itu baru menjadi sebuah bayangan. Kenyataannya, Muhammadiyah masih butuh berpuluh-puluh tahun ke depan untuk mewujudkan itu semua. Usahanya ada, tetapi distorsinya juga banyak. Konsep Green School memang sudah diterapkan di beberapa sekolah, tetapi sekolah yang hanya menyisakan bangunan gedung dan beberapa murid tanpa tenaga pengajar juga ada. Konsistensi pelestarian lingkungannya terlihat, tetapi anomalinya juga tetep ada. Pada satu sisi, jihad ekologi dan jihad konstitusi Muhammadiyah memanglah berdampak sampai ke akar rumput. Pada sisi yang lain, Muhammadiyah malah memilih menjadi aktor kekerasan dan kerusakan lingkungan di masa mendatang dengan cara menerima izin pengelolaan tambang.
Pertanyaannya, kenapa harus tambang? Kalau pemaksimalan program lingkungan yang sudah direncanakan Muhammadiyah sebelumnya lebih realistis dan berdampak luas bagi umat dan bangsa. Kenapa mesti berjudi di sektor pertambangan? Jika resiko dan mafsadahnya bisa disaksikan di mana-mana. Kenapa harus mengambil izin pengelolaan tambang? Bila beberapa tahun ke depan manusia sudah kafah menjalankan tobat ekologi dengan beralih ke energi bersih.
TambangMu? Engga deh
Proyeksi Muhammadiyah untuk menjadi contoh pengelola tambang yang berwawasan lingkungan dan mengutamakan kesejahteraan sosial, agaknya perlu dipikirkan matang-matang. Butuh waktu untuk mengkonsep dan memperhatikan detail-detail teknis Green Mining ini (jika memungkinkan). Sebulan—dua bulan saya rasa tidak cukup, butuh sekurang-kurangnya enam bulan sampai setahun untuk meriset apa-apa yang dibutuhkan dalam persoalan ini. Mengapa sekurang-kurangnya enam bulan? Sebab di jangka waktu tersebut mungkin saya sudah bisa menuntaskan penelitian saya terkait gerakan lingkungan Muhammadiyah. Menguliti serta menakar seberapa besar peranan Muhammadiyah dalam mencegah kerusakan lingkungan yang semakin masif pasca reformasi.
Apa tidak paradoks jika saya menulis dan memuji-muji kinerja Muhammadiyah di sektor lingkungan hidup, tetapi pada akhirnya Muhammadiyah sendiri yang membatalkan seluruh usahanya. Saya khawatir usaha Muhammadiyah di sektor lingkungan hidup ini akan bernasib sama seperti cerita Brashisha al-‘Abid, seorang ahli ibadah yang memiliki banyak pengikut dan karamah tetapi berakhir di neraka karena mengikuti hawa nafsu dan bisikan iblis menjelang kematiannya.
Jika dalam tulisan Mukhaer Pakkanna menyebut wujud implementasi khalifah fil ardh Muhammadiyah adalah dengan cara terjun ke dunia pertambangan agar yang semula gelap menjadi terang benderang, dan mengecap orang-orang yang pesimis dengan langkah Muhammadiyah mengelola tambang dengan sebutan “malaikat” karena gagal menjadi khalifah (manusia) sesungguhnya yang berdampak untuk umat, saya kira beliau terburu-buru menuliskan itu.
Meskipun sejujurnya saya menyukai susunan argumentasi dan kiasan yang beliau gunakan, tetapi rasa-rasanya tak perlulah untuk diseriuskan apalagi diwujudkan, biarkan saja argumentasi tersebut menjadi wacana terbaik yang pernah keluar dari seorang pengurus PP Muhammadiyah. Sebab, siapa yang bisa menjamin manusia tidak akan terhasut ke lubang hitam (dibaca: tambang)? Lagi pula, mengapa MLH tidak menolak mentah-mentah rencana pengelolaan tambang ini, bukankah seharusnya MLH menjadi garda terdepan dalam urusan pelestarian lingkungan? Mengapa terkesan lembek dan cenderung pro tambang? Program-progran sektor pelestarian lingkungan hidup aja banyak yang belum terlaksana secara maksimal, kini malah antusias mengurus pertambangan. Inkonsisten dan lumayan aneh.
Sudahlah, tanpa harus menjadi role model pengelolaan tambang yang baik, saya rasa Muhammadiyah sudah bisa membuktikan bahwa dirinya beserta pengikutnya telah menjadi manusia (khalifah) sesungguhnya di sektor lingkungan. Saya lebih mengharapkan Muhammadiyah untuk terus berinovasi sebagai Sang Surya (memanfaatkan energi sinar matahari dan energi terbarukan lain) ketimbang mesti bersusah payah (dibaca: berjudi) menjadi role model sektor pertambangan yang gelap gulita ini. Syukur-syukur kalau akhirnya dapat menerangi kegelapan tersebut. Namun, jika gagal? Bisa gelap sebumi-bumi.
PKO Jilid II?
Beberapa jam setelah naiknya berita Muhammadiyah menerima izin pengelolaan tambang, aktivis lingkungan, Dandhy Laksono, mengungkapkan kekhawatirannya dalam akun media sosial X pribadinya, “Karena NU dan Muhammadiyah sudah ikut bermain tambang, jika nanti ada anggota jadu korban atau memprotes dampak (kerusakan) tambang oleh perusahaan lain, penolakan atau gerakan mereka (warga Muhammadiyah) hanya akan dianggap (sebagai) motif persaingan bisnis.”
Sulit untuk saya tidak membayangkan apa yang ditulis Dandhy tidak terjadi. Sebab konflik dan dampak akibat aktivitas pertambangan sudah sangat sering terjadi. Masalahnya, selama ini saya atau kita hanya melihat perusahaan besar dan asing yang menjadi aktor di balik kekacauan ini, dan masyarakat kelas menengah-bawah yang menjadi korban. Lalu, bagaimana situasinya jika yang menjadi aktor kerusakan dan kekerasan ini adalah ormas keagamaan yang fatwa dan anjurannya selama ini dijadikan rujukan hidup di masyarakat itu sendiri. Betul-betul lamis dan penjual ayat dengan harga murah. semoga NU dan Muhammadiyah tidak demikian.
Meski hubungan ulama-jemaah di Muhammadiyah tidak seketat dan setakzim di NU, tetapi posisi Muhammadiyah sebagai pengelola tambang sangat mungkin menggerus sikap kritis di internal warga Persyarikatan khususnya generasi muda. Belum lagi jika ada skenario pemobilisasian massa dari kakanda ke seluruh kader Muhammadiyah untuk memprotes suatu hal yang motifnya keuntungan pribadi atau kelompok tertentu saja. Rusak sudah pengaderan dari hulu sampai hilir di Muhammadiyah. Benar kata Dandhy, gerakan lingkungan Muhammadiyah yang sebelumnya organik dan berorientasi pada kepentingan publik, ke depannya akan dilihat sebagai motif persaingan bisnis semata.
Jika hal tersebut benar terjadi, kekayaan historis gerakan lingkungan Muhammadiyah yang digagas oleh PKO akan menjadi sumber bacaan dan memori kolektif paling mewah yang dimiliki Muhammadiyah. Sebab di masa mendatang PKO tidak lagi dikenal sebagai Penolong Kesengsaraan Oemoem, melainkan Penambah Kesengsaraan Oemoem. Penambah Kesengsaraan Oemat. Penambah Kesengsaraan Orang.