Air Hujan Sebagai Salah Satu Solusi di Tengah Kapitalisasi Air

Oleh : Alfian Widi S*
Kita tahu saat ini bahwasanya semua benda yang berasal dari Allah telah dikapitalisasi oleh manusia sendiri, tanpa mementingkan kesehatan alam sekitar, padahal hakikatnya manusia sendiri itu sebagai khalifah di Bumi. Lalu mengapa saat ini manusia begitu serakah, hingga saja air pun dikapitalisasi oleh birokrasi, padahal saja air bisa diambil secara cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja, lalu mengapa air harus diperjualbelikan? Mari kita simak mulai sejarah air hingga kebiasaan masyarakat dahulu dalam masalah air.
Air sendiri sudah menjadi bahasan bagi filsuf alam. Filsuf alam yang menjelaskan tentang air adalah Thales dari Melitus, ia menganggap bahwa air adalah awal dari segalanya atau bisa disebut bahasan ontologis. Thales bahkan pernah menyebut-nyebut bahwa air dipenuhi dengan dewa, dan di ilmu modern kini kita tahu bahwa pernyataan Thales itu benar, mengapa? Karena kita tahu bahwa air sendiri telah menghuni 70% dari tubuh kita. Kita tahu juga bahwa air akan banyak dibahas di semua kitab suci, karena air sendiri adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, maka kemungkinan bisa menyebut bahwa air adalah hal yang suci.
Lalu bagaimana kebiasaan masyarakat dahulu dalam masalah air. Jika kita belajar sejarah, maka masyarakat pra-aksara akan selalu bertempat tinggal di pinggiran sungai maupun laut secara nomaden maupun menetap, karena air adalah tempat yang krusial bagi bercocok tanam maupun untuk mencari makanan tanpa takut. Lalu jika kita melihat lebih detail lagi dalam corak masyarakat Indonesia tempo dulu, banyak orang yang mengambil air di sumber mata air, sumur maupun menampung air hujan dan disaat itu juga masyarakat Indonesia punya kebiasaan yang begitu ramah, yaitu menyediakan air secara gratis di depan rumah (kalau sekarang mah diganti tempat cuci tangan hahaha).
Mengapa masyarakat modern kini malah membeli air kemasan daripada memanfaatkan air hujan maupun air sumur? Jawabannya adallah doktrinasi secara halus melalui media-media yang telah disponsori air kemasan, dan menganggap bahwa air kemasan lebih higienis. Memang saja banyak orang yang percaya dengan propaganda yang teramat sederhana itu dan didukung oleh sikap manusia modern yang suka terhadap hal yang instan.
Pastinya produk air kemasan sendiri telah meraup hasil yang menguntungkan sekali karena pajaknya sendiri terbilang murah bagi perusahaan air, dibalik keuntungan yang benar-benar bagus terdapat kerusakan alam yang begitu kejam, yaitu perampasan sumber mata air, di daerahku saja—Jombang, lebih tepatnya Mojoagung—setidaknya sudah ada dua masalah perampasan mata air oleh perusahaan air Aq*a, begitu mengejamkan sekali bukan? Bayangkan saja jika itu terjadi, dimana masyarakat sekitar yang sudah terbiasa untuk mengambil air secara gratis, dan sekarang akan membayar sebanyak 17.000 rupiah untuk per galon? Bagaimana kalau dikalkukasi secara satu tahun, bukankah itu banyak sekali?
Lalu kenapa saya menawarkan air hujan sebagai solusi di tengah kapitalisasi air? Maka jawabannya ada dua versi yaitu dalam versi kitab suci dan pembuktian secara ilmiah. Jawaban versi pertama, kita bisa melihat dalam Q.S An-Nahl (16): 10 yang berbunyi “Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagian untuk minuman dan sebahagian untuk (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”, surat Al-Fuurqon 48-50, dan membuat air hujan sebagai air paling suci dalam urutannya—kalau tidak salah—,lalu jawaban versi kedua adalah dalam segi ilmiah, yang mana jika kita mencoba mengukur tingkat keasaman air terhadap air hujan, maka hasilnya 7-9 saja yang bisa dibilang hampir netral, atau jika kita mengukur tingkat kandungan logam dalam air dengan alat TDS meter, maka hasilnya sangat mengejutkan yaitu sekitar 10-20 saja, padahal air kemasan yang diperjualbelikan itu bisa mencapai angka 100 yang seharusnya itu sudah termasuk kategori air yang tidak baik untuk dikonsumsi.
Lantas bagaimana menurutmu tentang air hujan yang saat ini mendapatkan stigma yang buruk di mata masyarakat dan dianggap sebagai sara penghantar penyakit? Padahal jika kita teliti, maka sebenarnya air hujan itu akan melakukan detoks dan akan mengeluarkan racun melalui ingus—kebanyakan—kalau dikonsumsi, maka pengeluaran racunnya melalui BAB maupun buang air kecil
Begitulah materi singkat saya tentang air hujan sebagai alternatif di tengah kapitalisasi air, dan pastinya ilmu ini saya dapat di sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Airkita” dan memang pembahasannya tentang air, serta memakai pengganti air sumur yaitu air hujan itu sendiri. Saya ucapkan begitu banyak terima kasih terhadap Airkita maupun kru yang bertugas pada Kader Hijau Muhammadiyah yang mau menampung tulisan saya.
*Warga Jombang yang Peduli dengan Lingkungan