
Oleh: Ahmad Aulia Risky Pratama*
Manusia seringkali menganggap bahwa, di dunia ini, hanya dirinyalah yang mempunyai hak hidup secara baik. Padahal, lingkungan juga mempunyai hak, tak terkecuali air. Mengabaikan hal tersebut membuat orang lebih mudah untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan perusakan lingkungan, baik di darat, di udara, maupun di air. Dalam tulisan ini, akan membahas lebih spesifik terkait dengan hak air.
Air mempunyai hak untuk bersih, tidak tercemari oleh sampah plastik maupun limbah pabrik, baik itu air yang berada di sungai maupun air yang berada di laut, karena menjaga kualitas air sama dengan menjaga kualitas hidup manusia. Setiap hari manusia membutuhkan air, baik untuk keperluan minum, masak, mencuci, maupun mandi. Semua bergantung pada air. Sayangnya, dunia telah banyak berubah semenjak rumah-rumah membelakangi sungai dan lautan yang dianggap sebagai tempat pembuangan sampah paling akhir, hingga pada akhirnya kualitas air ikut menurun.
Penurunan kualitas air juga bukan disebabkan oleh gejala alam, melainkan karena ulah tangan manusia, mulai dari praktik pembuangan sampah ke sungai, praktik pembuangan limbah pabrik tanpa diolah, hingga ketidakseriusan pemerintah dalam menangani problematika semacam ini. Dampaknya luas, bukan hanya pada kondisi air itu sendiri, tetapi juga ikan, dan manusia yang akan mengkonsumsinya.
Menyadari hak air untuk tetap bersih adalah jalan untuk memutus rantai pencemaran pada air, baik itu di sungai maupun di laut. Jika kita melihat ekspedisi tiga sungai utama di Jawa yang dilakukan oleh lembaga penelitian asal Gresik, yakni Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) yang dalam perjalanan ini berkolaborasi dengan Watchdoc, sebuah rumah produksi audio visual atau documenter maker, kita bisa melihat bahwa sungai utama yang ada di Jawa kini sudah memasuki fase sekarat, dan sangat tidak layak menjadi contoh sungai bagi daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Tiga sungai yang disusuri tersebut adalah sungai Brantas yang berada di Jawa Timur, sungai Bengawan Solo yang berada di Jawa Tengah, dan sungai Citarum yang terletak di Jawa Barat. Mereka melakukan ekspedisi ini dalam rangka mengecek kesehatan sungai beserta ikan-ikannya. Sampai essay ini ditulis, ekspedisi 3 sungai baru tayang sampai episode ke 6. Meskipun begitu dapat kita tarik kesimpulan bahwa, segala pencemaran yang ada di air, tidak melulu problematikanya berasal dari air, bahkan hampir secara keseluruhan berasal dari darat. Maka, tidak heran jika dalam video serial ekspedisi 3 sungai ini tidak terus menerus berada di atas perahu.
Pencemaran Air dari Hulu ke Hilir
Terdapat korelasi antara limbah yang ada di sungai dan di laut. Sungai bermuara ke laut, sampah-sampah yang ada di sungai ikut terbawa arus ke laut. Alhasil, laut menjadi tempat paling akhir berhentinya sampah. Selain tercemar melalui kiriman sampah dari sungai, laut juga kerap menerima ‘kiriman’ sampah yang jumlahnya hingga berton-ton.
Mewajarkan keadaan semacam ini adalah hal yang sangat mencengangkan, karena imbasnya luas dan berkepanjangan. Laut yang seharusnya mempunyai hak untuk tetap indah kini menjadi kotor, kumuh, dan tercemar mikroplastik. Bahkan kehidupan biota didalamnya juga ikut terusik dan menjadi korban dari banyaknya jenis sampah, termasuk mikroplastik.
Hari ini, mikroplastik menjadi ancaman nyata bagi sungai, laut, biota, dan juga manusia. Plastik yang memiliki ukuran kurang dari 5 mm tersebut telah banyak mencemari perairan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ecoton, di sungai Brantas, banyak ikan yang terpapar mikroplastik dan mengalami intersex, atau berkelamin ganda, dan hal tersebut merupakan bagian dari imbas tercemarnya daerah perairan dengan sampah plastik.
Dampaknya bagi air juga membuat kualitas air semakin memburuk. Bahkan bagi manusia, dampaknya juga bisa parah jika tak kunjung diperhatikan dan tak kunjung memulai perubahan, yakni dapat mengakibatkan gangguan reproduksi, gangguan pertumbuhan, menopause lebih awal, menstruasi lebih awal, penurunan kualitas sperma, dan indikasi intersex atau berkelamin ganda. Jika aktivitas pencemaran perairan terus berlangsung, maka lambat laun pencemaran itu akan berdampak juga pada manusia, dan pada akhirnya manusianya yang akan menanggung apa yang telah dibuatnya.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, limbah plastik Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sedangkan Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2018 memperkirakan sekitar 0,26 juta-0,59 juta ton plastik ini mengalir ke laut. Indonesia-pun dinobatkan sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jambeck pada tahun 2018.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini membuat laut kita semakin berada dalam zona merah. Sebetulnya, pencemaran yang ada tidak hanya berasal dari sampah plastik, namun yang menjadi terbanyak dan terlama untuk bisa terurai adalah plastik. Maka dari itu, tidak heran jika plastik sekali pakai saat ini menjadi musuh yang nyata bagi kesehatan air sungai, laut beserta biotanya.
Pihak-Pihak yang Berwenang dalam Pemenuhan Hak Air
Memenuhi hak air untuk tidak tercemar, dapat dilakukan oleh siapa saja. Ada tiga komponen yang dapat melaksanannya. Pertama, masyarakat itu sendiri. Masyarakat dapat menjaga kualitas perairan dengan berhenti untuk membuang sampah ke sungai dan laut.
Kedua, pemilik perusahaan. Sebuah pertanyaan yang akan muncul pertama kali adalah, ada apa dengan pemilik perusahaan? Dan kenapa pemilik perusahaan masuk dalam komponen yang saya tulis disini? Ya, sebuah pertanyaan yang memang seharusnya muncul. Dari sekian banyak perusahaan yang ada, masih banyak perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu, sehingga sangat memberikan dampak buruk bagi sungai dan ikan-ikannya. Seperti juga apa yang terekam dalam tayangan ekspedisi tiga sungai, bahwa banyak perusahaan yang masih membuang limbahnya ke sungai.
Kemudian yang ketiga adalah pemerintah. Pemerintah merupakan komponen paling kuat dalam hal ini karena memiliki wewenang untuk membuat regulasi dan jika regulasi yang pro terhadap lingkungan dibuat, khususnya yang berkaitan dengan daerah perairan, baik itu sungai maupun laut, maka secara otomatis mereka pemilik perusahaan yang setiap harinya membuang limbahnya ke sungai akan berhenti. Karena jelas ada regulasi yang mengatur dan jika dilanggar maka konsekuensinya akan mereka tanggung. Namun sangat disayangkan, semuanya masih minim perhatian. Sehingga permasalahan lingkungan adalah permasalahan yang seolah-olah disepelehkan, padahal manusia dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Mengindahkan etika lingkungan hidup meniscayakan kesetaraan. Kesetaraan antara manusia dan alam, termasuk air. Tidak ada pandangan tentang sungai itu rendah ataupun laut itu rendah, sehingga pantas untuk dijadikan tempat pembuangan sampah. Semuanya sama-sama mempunyai hak. Jika hal sederhana terkait dengan pemahaman dan kesadaran akan hak sudah tertanam dalam diri, maka semuanya akan berjalan dengan sehat dan menyehatkan. Hubungan antara manusia dengan alam, termasuk air, akan harmonis dan terjaga.
*Kader Hijau Muhammadiyah Surabaya