Covid Dan Babak Baru Tugas Manusia Di Bumi
Oleh: Al-Bawi*

Tahun 2020 merupakan babak baru bagi seluruh peradaban bumi. Dari sini, tanpa disadari, manusia gelisah karena partikel kecil serupa hantu yang berkembang biak dalam sel manusia. Virus bisa disebut makhluk, juga bukan makhluk, karena pada dasarnya ia memerlukan inang untuk berkembang. Inang inilah yang berupa makhluk hidup, yaitu hewan dan manusia. Menjadi menarik bahwa karena ulahnyalah dunia menjadi panik dan ia yang dipersalahkan bila ada orang sakit.
Bakteri dan virus memang sangat mematikan. Bahkan tuberkolosis saja bisa membuat mati 1.300.000 jiwa. Berbeda dengan virus, bakteri ada yang tidak jahat. Ada bakteri yang bisa menolong manusia, seperti bakteri sebanyak 380.000.000.000.000 di dalam perut manusia yang membantu sistem pencernaan. Maka bakteri dan virus berbeda. Bakteri adalah sel hidup sedangkan virus makhluk hidup transisi. Virus memerlukan inang ketika sudah masuk ke dalam tubuh manusia dan akan menipu sel serta merusak sistem imun.
Virus termasuk pintar karena ia sudah tahu sel mana yang ingin mereka rusak. Virus akan menerobos masuk ke dalam sel tersebut dan mematikannya. Seperti Covid-19 ini: mereka tersebar dalam tubuh manusia dan membunuh manusia secara perlahan apabila tidak ada antibodi yang cukup kuat untuk menangkal antivirus.
Manusia Adalah Kurir Virus
Patut kita sadari bersama, bahwa yang membawa virus ke seluruh dunia ini adalah manusia itu sendiri. Akibat perbuatan tangan manusia yang terus haus akan memangsa alam, virus ini berevolusi dan menjadikan manusia sebagai inang. Kemudian manusia membawa virus itu ke seluruh dunia secara gratis. Virus berekspansi secara massif dan berkemabang biak. Virus menyebar dengan hanya membutuhkan kebodohan dan ego inangnya. Manusia atau homo sapiens telah lama dikenal sebagai predator ekologi. Sebagai predator, egonya tinggi. Justru hasilnya paradoks: ego menjadi hukuman bagi sapiens.
Padahal, Ibnu Sina membagi empat level kecerdasan manusia. Level pertama disebut sebagai Akal Material (al-aql’ al-huyulani), yakni kecerdasan bawaan lahir manusia untuk mengenal dunia lewat indra dan bahasa. Level kedua disebut Akal Terlatih (al-‘aql bi al-malakah), yakni kecerdasan untuk mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Level ketiga adalah Akal Aktual (al-‘aql bi al-fi’l), yakni kecerdasan untuk merespon ilmu pengetahuan dengan nalar intelektual. Ini kecerdasan yang lebih rumit. Level terakhir adalah dimensi kecerdasan tertinggi, yang digapai oleh para Nabi. Kecerdasan ini mampu memaknai semesta wujud dalam diri manusia. Kecerdasan ini disebut Akal Perolehan (al’aql- al-mustafad). Pada titik tertentu kecerdasan manusia sering dikalahkan ego.
Tapi setidaknya, melalui proses akal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa manusia berkembang tidak hanya secara anatomis. Yang berkembang juga relung akal sehat. Pergeseran level akal mendorong manusia mengalami perubahan peradaban.
Kembali ke Jalan yang Benar
Kajian ethics of care atau etika kepedulian adalah salah satu cara mencegah arogansi manusia terhadap alam. Ethics of care tidak cuma dibangun lewat tradisi akademik, tapi pengalaman intens dalam merasai kepedulian. Ethics of care bisa terbangun dari kesadaran bahwa, selama kita terus menerus mengganggu makhluk hidup lain dan merusak bumi, kita akan menerima akibat fatal. Karena itulah, dalam melawan pasukan Covid-19, manusia dituntut untuk menyadari bahwa inilah saatnya untuk mulai peduli pada sesama warga ekosistem.
Vandana Shiva seorang aktivis ekofeminis dari iIndia mengatakan bahwa kolonialisme lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisme baru merampas seluruh kehidupan. Pernyataan Vanda Shiva merupakan gambaran penting bahwa membangun kepedulian, terutama dalam persoalan sosio-ekologis, menjadi agenda global yang harus diupayakan karena menyangkut hajat hidup seluruh manusia.
Tapi tantangan untuk mengupayakan itu adalah paradoks manusia sendiri. Manusia terus mengulang kesalahan ekologis mereka bahkan saat virus serta bencana ekologis lainnya sedang menghampiri. Padahal, virus dan bencana ekologis lainnya bisa disebut sebagai penyembuh bumi. Corona, contohnya, adalah penyelamatan bagi karbon yang beredar di angkasa hingga keselamatan makhluk hidup menjadi perlahan memulih. Tapi manusia tidak menyadarinya.
Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 164 dinyatakan bahwa: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi ; sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Manusia harus kembali ke jalan yang benar dengan cara menyadari posisinya di dunia. Manusia adalah perlambang dari sebaik-baiknya bentuk dan kesempurnaan ciptaan (ahsani taqwim). Dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 70 Allah juga mengatakan bahwa Dia menciptakan manusia dengan satu tujuan, yakni mengabdi pada-Nya. Seharusnya dua hal itu cukup untuk mendorong manusia menjaga bumi dengan baik. Walaupun manusia ditetapkan Allah dengan derajat yang tinggi, tapi tidak berarti bahwa manusia memiliki kekuasaan tanpa batas atas alam. Adanya batas bagi manusia dalam tugasnya sebagai pemelihara bumi akan menghindarkan ekosistem dari eksploitasi.
*Al-Bawi adalah Pimpinan Pusat IPM Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan. Aktif di Kader Hijau Muhammadiyah Komite Yogjakarta.