Dibalik Makna Jargon “Ramah Lingkungan”.

Kita semakin dekat dengan akhir zaman. Dimana hari ke harinya kian banyak orang meyakini bahwa kemerosotan daya dukung kehidupan di bumi tengah menuntun kita ke arah bencana. Orang-orang bermunculan baik itu hadir secara kesadaran individu maupun kolektif, menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sambil mengambil langkah-langkah kecil di kehidupan keseharian guna menjaga lingkungan yang dihuninya. Akan tetapi dikala semua itu tumbuh perlahan, praktik-praktik perusakan lingkungan semakin cepat dan terus bertambah.
Mereka adalah kelompok manusia serakah yang berkumpul dalam satu wadah kapitalisme ekstraktif. Bentuknya berupa korporasi-korporasi multinasional ekspansif. Bersenjatakan uang dan kekuasaan mereka mengeruk isi perut bumi, merampas ruang hidup masyarakat dan digantikannya pabrik-pabrik yang membuang kotoran lantas masyarakat harus menerima residu yang mereka hasilkan itu.
Disaat itu pula dalam rangka mengesahkan keserakahan yang diperbuatnya, muncul etika-etika balas budi dari bagian sedikit hasil akumulasi keuntungan yang mereka peroleh. Citra ditampakan seakan-akan mereka juga bagian dari golongan yang memulihkan fungsi alam. Hingga banyak dari masyarakat pula yang tertipu dari kepalsuan kedok mereka dan menyerahkan tugas merawat bumi yang semestinya menjadi kewajiban setiap individu dan mengalihkannya kepada korporasi-korporasi.
John Bellamy Foster, seorang ilmuwan dan pegiat lingkungan hidup, menjabarkan bahwasanya sistem ekonomi yang sekarang berlaku adalah sistem yang meletakan hasrat akan pertumbuhan dan akumulasi di setiap aktivitasnya. Tidak sedikit yang percaya dari masyarakat akan jargon “ramah lingkungan” dari produk-produk hasil akumulasi itu sendiri. Bahwasanya kapitalisme ekstraktif bisa bersandingan dengan pelestarian alam serta memberikan jalan keluar dari krisis lingkungan hidup yang sekarang terjadi.
Praktik-praktik perusakan lingkungan hidup adalah moral yang mereka anut dan tertanam dalam prinsip akumulasi di dalam sistem kapitalisme ekstraktif ini. Tanggung jawab yang mereka laksanakan tidak ubahnya sebagai kegiatan-kegiatan seremonial dan pembangunan wajah ramah lingkungan hanyalah papan-papan iklan yang bertebaran di jalan.
Ada pun korporasi-korporasi yang melakukan praktik pelestarian alam dalam dalih memenuhi tanggung jawab sosialnya. Model praktik seperti itu nyatanya sangat anti terhadap pemenuhan hak semua makhluk hidup. Lebih jelasnya Foster menyebutkan bahwa praktik-praktik yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari “imperialisme ekologi”.
Praktik imperialisme ini ditandai dengan berlangsungnya perampasan sumber daya alam oleh kekuatan dominan (dari negeri-negeri kapitalis maju) terhadap negeri-negeri yang terkebelakang dan mengubah secara derastis keseluruhan ekosistem di mana negara dan bangsa-bangsa itu bergantung. Dalam hal ini korporasi adalah kepanjangan tangan dari negeri -negeri kapitalis.
Praktik imperialisme ini juga meliputi pengerahan tenaga kerja murah secara besar-besaran dan dijadikan tumbal untuk menjalankan praktik-praktik ekstraktivisme dimana sumber daya alam dikeruk habis-habisan. Lalu, menutup akses masyarakat terhadap sumber daya alam hingga terjadinya kerentanan ekologis. Dan menerapkan skema dimana negara-negara berkembang dibebani dengan upaya pemulihan dari dampak pengrusakan yang negara-negara maju lakukan.
Maka dari itu, tidak akan ada masa depan untuk bumi dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya jika tidak ada kepentingan bersama untuk mengorganisasikan diri serta alam dan menyadari bahwa “imperialisme” itu nyata adanya.