Eco-Investment Pasar Karbon melalui Perbankan Syariah

Gagasan yang mesti dikaji panjang-lebar.Kemunculan gagasan ini didasari tiga hal. Satu, mencari pengganti investasi emas yang operasional produksinya banyak menimbulkan masalah lingkungan baca Stephen Lezak dalam The Conversation. Dua, menerapkan skema investasi perdagangan karbon (carbon trading). Tujuannya supaya perdagangan karbon tidak hanya dijadikan ladang “cuci dosa” para korporasi. Tiga, mendorong perbankan syariah lebih terarah dalam menjalanan fungsi perputaran harta. Maka, alih-alih akumulasi harta di institusi perbankan syariah dipakai untuk memodali korporasi perusak alam, ada baiknya disalurkan pada sektor ramah lingkungan.
Investasi lewat Mekanisme Perdagangan Karbon
Sederhananya dalam bahasa saya, perdagangan karbon ialah kegiatan jual-beli antara penyedia jasa penyerapan karbon sebagai penjual dan industri yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas sebagai pembeli. Mereka yang hendak terlibat dalam sistem ini harus mendaftarkan diri pada pasar karbon dan penjualannya menggunakan skema kredit karbon (carbon credit).
Penyedia jasa penyerap karbon ini bisa berupa pembuatan lahan-lahan hutan atau dari industri yang menghasilkan emisi di bawah batas maksimal. Lalu, pembelinya sudah tentu adalah industri-industri dengan emisi melebihi ambang batas.
Terdengar aneh, bukan? Iya betul. Bentuk implementasi Perjanjian Paris tahun 2015 yang menyoalkan kenaikan kadar karbon bumi ini masalahnya hanya menyediakan solusi parsial. Upaya mengentaskan krisis iklim semata-mata dipandang cukup dengan memperbaiki atmosfer yang sifatnya global. Anehnya lagi, semua mekanismenya dikerjakan dengan monetisasi.
Contoh gampangnya begini, daerah Papua yang dirusak oleh industri, tetapi “cuci tangan” industri dalam tanggung jawab lingkungan dilakukan dengan membayar sejumlah uang. Di mana uang tersebut untuk membiayai penumbuhan hutan di Vietnam. Meskipun memang tanggung jawab lingkungan bukan saja lewat kredit karbon, cara seperti tetap tidak holistik dalam konteks ekologis.
Namun, cara ini sudah kadung dijalankan secara global. Celah ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk lebih aktif terlibat sebagai penjual dalam pasar karbon. Lalu, modal pembentukan jasa penyedia karbon dari mana?
Peran Perbankan Syariah
Jawaban atas pertanyaan sebelumnya bisa ditemukan di sini. Modal untuk masuk dalam pasar karbon sebagai penjual bisa didapatkan dari bank-bank syariah yang tumbuh cukup subur di Indonesia.
Saya sendiri bukan berasal dari ahli ekonomi, apalagi memahami seluk beluk perbankan syariah. Ide yang ditulis di sini semata terlintas dari pembacaan sederhana saya. Mengapa harus bank syariah dan kenapa tidak bank konvensional? Tujuannya adalah mendukung cita-cita operasional perbankan yang syar’i. Perbankan syariah bukan saja berperan mengatur hukum riba dalam transaksi nasabah, tetapi hendaknya juga termasuk bentuk perputaran bisnis keuangan di dalamnya.
Hal ini tercantum jelas di dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank syariah selayaknya institusi perbankan ialah berperan melakukan usaha penghimpunan dana dan penyalurannya dalam bentuk kredit dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Maka dari itu, dana kredit dari bank syariah inilah yang bisa dimanfaatkan untuk membangun “proyek hijau”. Terlebih, rencana pembangunan proyek hijau ini sangat mungkin masuk dalam agenda peningkatan taraf hidup masyarakat. Bukan saja taraf hidup dalam konteks ekonomi, juga termasuk hak lingkungan hidup.
Dengan demikian, pemodalan bank syariah untuk proyek hijau perdagangan karbon bisa mengatasi dua masalah sekaligus, yakni mengoptimalkan kegiatan perdagangan karbon dan menciptakan bentuk kredit syariah yang lebih jelas tujuan syar’i-nya.
Lebih lanjut, gagasan ini tidak bisa ditelan mentah-mentah. Perlu ada kajian mendalam dan penciptaan sistem yang benar-benar syariah untuk kemaslahatan umat manusia.
Penulis: Yayum Kumai