OpiniTokoh Hijau
Trending

Ekoteologi Pertanian: Suatu Pemikiran Awal (1)*

Oleh: Dr. (H.C.) Said Tuhuleley, MM.**

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ


ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ


Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar Rum : 41)

Iftitah

Majelis Tarjih dan Tajdid (MTDT) PP Muhammadiyah menyodorkan judul yang sangat terasa berat bagi penulis yang awam. Betapa Tidak! Yang mau dibicarakan adalah sesuatu yang jauh dari latar belakang pendidikan penulis, “Ekoteologi Tani dan Maritim Berbudaya Industrial”. Luar biasa.

Maka penulis mengambil jalan pintas, membicarakan persoalan ini dari sudut pandang orang yang sedikit bergelut dengan masalah pemberdayaan petani enam tahun terakhir ini. Dari sinilah pembicaraan akan banyak dilakukan.

Selain itu, dapat kita saksikan bersama akibat yang timbul dari kerusakan lingkungan hidup terhadap dunia pertanian kita di tanah air sudah sedemikian kompleksnya. Sedikit saja kita masuk lebih dalam ke dunia pertanian kita dewasa ini, akan terasa bahwa kerusakan lingkungan itu sedemikian parahnya, sehingga petani sendiri secara tidak sadar menjadi pelaku bagi kerusakan lingkungan, dalam hal ini kerusakan tanah pertanian mereka. Muara dari semua ini kembali kepada para petani; sebagian mereka hidup dalam suasana serba kekurangan. Bahkan sebagian petani  menjadi buruh di tanah miliknya sendiri. Ironis adanya.

Hanya timbul suatu pertanyaan bodoh, “Mengapa untuk al-Maa’uun MTDT langsung menggunakan istilah Fiqih al-Maa’uun, akan tetapi untuk masalah yang langsung terasa akibatnya bagi masyarakat yang sedang kita bicarakan hari ini MTDT menggunakan istilah ‘Ekoteologi Tani dan Bahari’; mengapa tidak ‘Fiqih Ekologi Tani dan Bahari’ supaya lebih bernuansa praksis?” Sebab kekuatan tradisi Islam sebenarnya bukan pada aspek teologis saja, tetapi nilai inti dari kekuatan tradisi Islam adalah fiqih. Penulis menduga, karena baru tahap seminar jadi MTDT menggunakan istilah ekoteologi tani dan bahari. Tentu pada tahapan selanjutnya MTDT akan masuk pada pembicaraan serius untuk merumuskan juga Fiqih Ekologi.

Tapi lepas dari itu, tema ini sangat menarik untuk dibincangkan, karena Islam toh diturunkan Allah melalui Rasulullah, Muhammad Saw., untuk memaslahatkan kehidupan manusia, dunia maupun akhirat. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia berkewajiban menjaga bumi ciptaan Allah ini, termasuk menjaga kelestariannya.

Makalah sederhana bahkan bersahaja ini diawali dengan pembicaraan di seputar persoalan kerusakan lingkungan kita, untuk kemudian masuk pada pembicaraan tentang masalah pertanian.Pembicaraan selanjutnya diarahkan bagi upaya mengkaji lebih jauh Ekoteologi Pertanian sebagai upaya untuk membumikan agama dalam penyelesaian masalah-masalah pertanian. Di ujung pembicaraan tentang ekologi pertanian sedikit disinggung model pengembangan pertanian yang dilakukan Muhammadiyah enam tahun belakangan ini, yang di kalangan Majelis Pemberdayaan Masyarakat disebut “Pertanian Ramah Lingkungan”.

Hanya saja, karena keawaman penulis, makalah ini ditulis secara amat sederhana bahkan bersahaja. Maaf untuk itu.

Kerusakan Lingkungan

Bumi Makin Panas. Ini bukan judul film, tetapi gejala nyata yang dirasakan dunia saat ini. Betapa tidak! Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi yang di abad lalu meningkat 0,75ºC, dalam 50 tahun terakhir ini naiknya berlipat ganda. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC – dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC – kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca.

Laporan yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, Fourth Assessment Report, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir!

IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan nitro oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global (sumber: Titik Adianingsih, www.google.com, 2008).

Dari sini sudah jelas terlihat bahwa sumber dari bencana pemanasan global tidak datang dari negara-negara miskin di belahan Dunia Ketiga, tetapi bermula dan berkembang dari negara-negara kaya di belahan Dunia Pertama, yang menganut dan mengembangkan secara gegap gempita ideologi neo-liberalisme.

Dalam suatu artikel pendek yang menarik di bawah tajuk, “Neoliberalisme dan Utang Luar Negeri Penyebab Pemanasan Global”, yang diposting pada 12 Nopember 2007 oleh Timpakul (www.sarekathijauindonesia.org), diuraikan secara menarik kenyataan tersebut.

Pangkal dari masalah ini menurut artikel tersebut adalah hasrat melakukan penghisapan sumber-sumber ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lintas negara (TNCs). Korporasi global memanfaatkan dukungan politik elit di negara-negara kaya dan lembaga-lembaga kreditor internasional menjadikan utang luar negeri sebagai instrumen utama untuk mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber-sumber penghidupan rakyat. Kini kekuasaan TNCs telah menaklukkan kekuatan ekonomi negara yang sesungguhnya diperuntukkan bagi menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Tentu saja kekuasaan TNCs yang besar seperti itu dimungkinkan terjadi karena ada perselingkuhan dengan elite nasional, kaum ‘komprador’. Pengakuan John Perkins dalam bukunya yang terkenal, “Confessions of An Economic Hit Man”, membuka mata semua orang tentang adanya perselingkuhan jahat tersebut. Perselingkuhan ini berakibat fatal bagi rakyat banyak. Dapat ditemukan paling sedikit dua akibat langsung yang dialami masyarakat. Pertama, di dalam pabrik-pabrik besar pemeras keringat, para buruh dengan upah yang tidak layak dipaksa bekerja ekstra keras. Perkins dalam buku lainnya, “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional” (Terjemahan Wawan Eko Yulianto & Meda Satrio, 2009) menulis:

“Barangkali tak ada kaitan antara kemiskinan, pelanggaran korporat, dan konsumen AS yang lebih jelas ketimbang di pabrik-pabrik pemeras keringat di Indonesia (seperti juga yang terdapat di banyak negara lain). Beberapa  korporasi besar berkaliber internasional, didukung kebijakan Bank Dunia yang mendorong privatisasi dan keringanan pajak untuk perusahaan-perusahaan asing, mempekerjakan sendiri atau melimpahkan proyek ke pabrik-pabrik yang mengupah buruh terlalu rendah. Dan seandainya mereka protes, mereka akan dihajar atau dibunuh. Para buruh itu hidup penuh penderitaan agar barang bisa dijual dengan harga rendah di toko-toko Negara Maju”.

Kedua, kegiatan industri, terutama di sektor perkebunan, pertanian, dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan transnasional menjadi salah satu penyebab pemanasan global dan penghancurahan lahan-lahan produktif masyarakat. Belum lagi akibat langsung yang ditimbulkan karena perubahan iklim yang drastis seperti kekeringan yang berkepanjangan, banjir yang terjadi hampir setiap tahun, longsor, badai. Semuanya menyengsarakan rakyat yang terus menerus mengalami proses pemiskinan. Dalam bidang pertanian, misalnya, dapat ditemukan bagaimana petani harus berhadapan dengan jaringan pabrik pupuk yang merambah sampai ke desa-desa. Padahal penggunaan pupuk kimia yang berlebihan berakibat fatal bagi kondisi tanah pertanian. Belum lagi tercemarnya air tanah karena penggunaan pestisida yang gila-gilaan.

Lanjut ke Bagian 2

Show More

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button