

Indonesia sejak lama dikenal sebagai Negara agraris dengan mayoritas masyarakat atau penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Potensi kekayaan alam Indonesia dalam hal pertanian sudah tidak diragukan lagi. Tanah yang luas lagi subur dan kekayaan sumber daya alam Indonesia sangat mendukung untuk tumbuhnya berbagai macam hasil pertanian.
Namun demikian, realitas nasib masyarakat petani dan pertanian di Indonesia menunjukkan hal yang berbeda dengan potensi sumber daya alam tersebut. Pertanian dan masyarakat tani Indonesia berada pada titik nadir. Pertanian rakyat, seperti tanaman pangan misalnya, telah lama mengalami leveling-off . Pertanian dan masyarakat tani mengalami proses pemiskinan sistemik dan masif. Berapa pun in-put diberikan, produksi padi petani tidak bertambah. Begitu pula kenaikan harga dasar gabah dan beras tak mampu mengangkat petani dari keterpurukan. Petani-petani dengan berbagai produk pertanian lainya mengalami hal serupa.
Proses pemiskinan itu datang dari banyak sisi. Kebijakan pertanian misalnya, sering tidak berangkat dari kondisi objektif masyarakat tani dan pertanian nasional. Nasib petani semakin dipertanyakan dalam gonjang-ganjing politik ekonomi perberasan saat ini. Beriring dengan itu petani dihadang masalah tata-niaga, pemasaran, termasuk distribusi, dan sebagainya. Sebagian besar petani tampak lebih sebagai sapi perah korporasi besar saprotan, baik pupuk, pestisida, benih, hingga perniagaan produk-produk pertanian.
Selain itu, dikejarnya peningkatan pendapatan domestik (GDP) membawa konsekuensi bagi diperbesarnya kuantitas produksi diikuti dengan volume eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang semakin besar. Fachruddin M Mangunjaya di dalam bukunya, ”Hidup Harmonis dengan Alam” (2006) menyebut bahwa dampak dari eksploitasi SDA akan berpengaruh terhadap kesehatan ekosistem. Akibatnya tentu sangat terasa bagi mutu produk negara berkembang. Fachruddin menyebut:
”….. Akibatnya, keunggulan komparatif produk negara berkembang menjadi sangat lemah. Sebab perdagangan bebas hanya terseleksi dengan keunggulan mutu. Maka negara yang mempercayai SDA yang kaya dan mempunya SDA berlimpah, berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan membuka peluang eksploitasi SDA habis-habisan tanpa memikirkan kerusakan dan polusi yang terjadi di negaranya”. (Fachruddin M Mangunjaya, 2006, p 125).
Akibatnya bagi kerusakan lingkungan dan lahan pertanian sangat jelas. Longsor yang terjadi di mana-mana, musim yang tidak menentu, banjir yang tidak habis-habisnya, semuanya menyengsarakan kehidupan petani kita.
Sementara itu, kepemilikan dan pengusahaan lahan pertanian terus mengecil. Keadaan itu diperparah oleh kondisi kesuburan lahan yang kian memburuk akibat penggunaan pupuk kimia (sintetis) dan pestisida atau sejenisnya yang sangat berlebihan dan hampir-hampir tanpa kendali yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, kurang ditemukan upaya yang berarti dari pemerintah untuk meningkatkan kemampuan petani di dalam bidang pertanian, paling sedikit di dalam budidaya pertanian. Kemampuan pembudidayaan terus tertinggal dibanding petani di berbagai negara manca. Perbankan dan stakeholders lainnya tampak enggan memberikan dukungan kepada petani dan sektor pertanian.
Di samping masalah kualitas tanah tersebut, ditemukan juga paling sedikit tujuh faktor dan keterbatasan yang menyebabkan kesejahteraan petani relatif lemah dan semakin menurun.
Pertama, sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apa pun kecuali tenaga kerjanya (they are poor because they are poor). Kedua, luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Ketiga, terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan. Keempat, tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Kelima, infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Keenam, struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah. Ketujuh, ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri (Bayu Krisnamurthi, 2003, www.ekonomirakyat.org).
Masalah tanah pertanian yang rusak ditambah ketujuh permasalahan di atas perlu diselesaikan secara mendasar dan komprehensif, sebab tanpa itu petani akan terancam dan kedaulatan pangan akan sulit dicapai.
Peluang ke arah penyelesaian permasalahan itu terbuka lebar, asal ada usaha sungguh-sungguh yang dilakukan semua pihak. Terdapat dua peluang besar untuk dimasuki dalam rangka pemberdayaan masyarakat petani dan pertanian di Indonesia.
Pertama, kebijakan Indonesia go Organic yang dicanangkan Departemen Pertanian beberapa waktu lalu dapat menjadi salah satu entry point penguatan masyarakat tani dan pertanian nasional. Banyak alasan yang mendasari pilihan ini. Di antaranya, gerakan pertanian organik yang terus menguat sebagai buah kesadaran akan dampak buruk pertanian agro-kimia (sintetik). Gerakan itu telah dimulai sejak awal tahun 80-an, terutama dimotori oleh LSM. Pasar produk-produk pertanian organik dalam negeri yang terus tumbuh juga menjadi alasan penting. Berbagai pemberitaan memperlihatkan bahwa pertumbuhan itu tidak karena gaya hidup, melainkan kesadaran akan konsumsi yang halal dan sehat (halalan thoyyiban)). Titik-masuk ini sangat berpeluang untuk membangun kembali pertanian berkelanjutan.
Kedua, pengembangan pertanian terintegrasi (integrated farming) sangat dimungkinkan, terutama integrasi antara pertanian, peternakan, dan perikanan tambak. Empat manfaat sekaligus dapat diperoleh petani dengan model seperti ini, yaitu secara perlahan kualitas tanah pertanian dapat diperbaiki; tersedianya bahan dasar utama untuk pembuatan pupuk organik, dengan sedikit sentuhan teknologi sederhana; tersedianya bahan dasar untuk membuat pakan ternak, dengan sedikit sentuhan teknologi sederhana; dan diperolehnya penghasilan tambahan untuk mengatasi masalah sempitnya lahan, sebab ternak bagi petani adalah tabungan.
Kedua peluang ini jika ditopang oleh jaringan kerjasama yang sinergis antara petani dan berbagai institusi kemasyarakatan yang peduli, akan sangat besar manfaatnya bagi pemberdayaan masyarakat petani dan pertanian di Indonesia.
Hanya saja, sebagaimana yang secara garis besar digambarkan di atas, masalah lingkungan hidup dan pertanian bukanlah sekadar masalah individual dan kultural semata. Dalam banyak hal permasalahan petani dan pertanian serta lingkungan kita sesungguhnya berakar pada masalah struktural. Oleh karena itu, kendatipun kali ini kita membatasi diri hanya membicarakan ekoteologi tani dan bahari, akan tetapi jangan pula dilupakan pentingnya membicarakan ”teologi kekuasaan” bahkan ”fiqih kekuasaan” yang bernuansa struktural.
Ekoteologi Pertanian: Upaya Membumikan Agama?
Gay Gardner dalam ”Invoking the Spirit: Religion and Spirituality in the Quest for A Sustainable” (dalam Husein Herianto, 2007, p 89) mendesak para pemerhati dan aktivis lingkungan untuk menjalin kerjasama dengan kaum agamawan, yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Gardner memandang bahwa keterlibatan agama merupakan suatu keniscayaan karena agama memiliki, setidaknya, lima aset yang sangat
berguna dalam memelihara bumi dan membangun dunia yang adil secara sosial dan berkelanjutan secara ekologis. Lima modal penting agama tersebut adalah: 1) kapasitas membentuk kosmologi (pandangan dunia) yang sejalan dengan visi ekologis; 2) otoritas moral; 3) basis pengikut yang besar; 4) sumberdaya materi yang signifikan; dan 5) kapasitas membangun komunitas.
Sejalan dengan Gardner, Thomas Berry dan para ilmuan lainnya berpendapat bahwa nilai-nilai agama masih memiliki peran yang kuat dalam membangun etika manusia, terutama dalam hubungannnya terhadap alam di Abad XXI. Agam dipandang tidak hanya berhubungan dengan teologi saja, tetapi juga telah berorientasi pada praktek- praktek berkesinambungan dan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan (dalam Dian Maya Safitri, niamchomsky.wordpress.com, 2011).
Dua pandangan di atas mewakili kesadaran baru sekarang ini tentang pentingnya peranan agama dalam penyelesaian masalah manusia dan kemanusiaan. Agama seakan- akan ’diundangi’ kembali,–setelah sekian lama dipisahkan dari masalah-masalah dunia–ketika manusia mengahadapi masalah-masalah besar yang sulit dipecahkan, termasuk masalah ekologi, pertanian, ekonomi, dan sebagainya.