

Surat Ibrahim ayat 37 yang memuat doa Nabi Ibrahim yang sangat kita kenal:
”Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”.
Surat an-Nahal 68-69:
”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ’Buatlah sarang-sarang di bukit- bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.’, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”
Surat an-Nahl ayat 10-11:
”Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
Surat-surat yang terjemahannya dikutip di atas itu mengandung pengertian tentang bagaimana Allah mementingkan pertanian. Karena pentingnya pertanian itu, tidak jarang Allah memberi perumpamaan atas satu perkara dengan bidang pertanian. Misalnya orang yang memiliki aqidah yang kokoh diupamakan sebagai tanaman yang menghujamkan akarnya dengan kuat ke dasar bumi, dan memancarkan tunasnya yang menjulang tinggi. Perumpamaan bagi orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai).
Bahkan ayat ketiga dari surat al-Maa’uun yang sangat kita kenal itu sedikit banyak berhubungan dengan bidang pertanian. Allah menentukan salah satu dari dua kriteria orang yang mendustakan agama adalah, ”tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Persoalannya di sini berhubungan dengan ketersediaan pangan, yang tentu saja dihasilkan oleh pertanian, peternakan, dan perikanan.
Karena pentingnya pertanian bagi kehidupan manusia, maka Allah jelas melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Salah satu bentuk kerusakan itu adalah kerusakan ekologi. Tentu saja termasuk di dalam membuat kerusakan itu adalah menggunakan pupuk kimia (sintetis) dan pestisida secara sangat berlebihan, yang tidak saja berbahaya bagi kesehatan tanah, akan tetapi berbahaya juga bagi kesehatan manusia. Allah menegaskan di dalam sutar al-Maa’idah ayat 32 yang terjemahannya kurang lebih:
”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan- akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”.
Ayat itu menjelasakan bahwa di mata Allah orang yang membunuh bukan karena yang dibunuh tersebut melakukan pembunuhan posisinya sama dengan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.
Dengan demikian jelas sekali bahwa model pertanian setelah diberlakukannya Revolusi Hijau, dimana pupuk kimia (sintetis) dan pestisida digunakan tanpa kendali sama saja dengan membunuh semua orang. Karena akibat jangka panjang bagi kesehatan manusia, bahkan bagi petani itu sendiri, sangat mengerikan. WHO mencatat, terdapat 772 ribu kasus penyakit baru akibat penggunaan pestisida kimiawi. Belum lagi hama yang mampu melahirkan generasi hama baru yang lebih kebal terhadap pestisida. Yang lebih parah, intensifikasi pertanian berdasarkan data FAO telah menyumbang lebih dari 20% emisi rumah kaca global. Kegiatan pertanian dengan model seperti itu mengancam 70% spesis burung dan 40% spesis tanaman (Umar Said, 2010).
Oleh karena itu, di berbagai negara, orang sudah mulai masuk pada model pertanian yang sekarang dianggap paling modern, yaitu kembali kepada model pertanian nenek moyang. Integrasi antara pertanian, peternakan, dan perikanan (terutama perikanan tambak) yang menjadi andalan nenek moyang kita kembali dibangkitkan. Tentu saja setelah mengalami pemodernisasian agar dapat diproduksi secara besar-besaran. Contoh yang menarik adalah yang dikembangkan di Haifa, Israel. Tanah-tanah yang tandus dapat dirubah menjadi kebuh buah-buahan yang sayuran yang subur. Andalannya adalah integrated farming, menyatukan peternakan dan pertanian. Limbah pertanian diolah sebagai pakan ternak, dan limbah peternakan diolah menjadi pupuk.
Jangan heran kalau Israel yang tanahnya jauh lebih buruk dari daerah tertentu di Gunung Kidul, bahkan tanah tersuburnya lebih buruk dari tanah gersang di sebagian Gunung Kidul, mampu menjadikan pertanian dan peternakan sebagai salah satu andalan pendapatan nasionalnya. Di dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 205 Allah berfirman: ”Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” Selain itu, di dalam surat an-Nah; ayat 5, Allah juga menegaskan tentang berbagai manfaat binatang ternak bagi manusia:
”Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.”