Jihad Ekologi sebagai Gerakan Kontemporer

Oleh : Hamdi Rosyidi, S.Pi*
Berita kerusakan lingkungan semakin masif bertebaran menghiasi media cetak maupun online. Akhir juli lalu kita mendengar kabar bocornya pipa pertamina yang membuat perairan karawang tercemar dan merugikan nelayan, petambak ikan serta petambak garam setempat. Alih-alih berhenti, kebocoran masih tetap berlangsung dan daerah cemarannya diperkirakan telah mencapai perairan pulau sumatra. Sejak beberapa pekan yang lalu ibukota kita, DKI Jakarta seringkali menempati peringkat teratas sebagai kota paling berpolusi se-dunia. Baru-baru ini kebakaran hutan dan lahan begitu masif terjadi di kalimantan dan menyumbang kabut asap hingga ke Malaysia. Tercatat ada 1500-an titik kebakaran yang tersebar di sumatera dan kalimantan.
Rentetan kerusakan lingkungan ini menambah daftar permasalahan di sektor ekologi yang telah ada lebih dulu seperti reklamasi teluk jakarta, reklamasi teluk benoa, pembukaan pabrik semen di desa petani kendeng, aktivitas tambang emas tumpang pitu Banyuwangi, kebocoran pipa minyak pertamina di teluk Balikpapan, kerusakan akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit beserta limbah hasil aktivitas pengolahannya, kerusakan akibat tambang emas freeport Papua, kerusakan akibat ribuan izin usaha pertambangan batubara, serta kerusakan-kerusakan lainnya.
Sifat merusak manusia
Dari berbagai macam kerusakan yang banyak muncul akibat aktivitas manusia, sesungguhnya malaikat telah menyampaikan kekhawatiran ini diawal penciptaan manusia. Didalam surah Al-Baqarah ayat 30 terjadi percakapan antara Allah dan malaikat. Allah menyampaikan bahwa Ia hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun malaikat mempertanyakan hal tersebut, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah”. Allah kemudian menjawab, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dari kutipan ayat Al-Qur’an diatas, sifat merusak manusia ternyata telah diprediksikan bahkan sejak awal penciptaannya. Bahkan protes malaikat tersebut tidak dibantah Allah. Allah hanya menyampaikan bahwa Ia lebih mengetahui ketimbang malaikat, tapi tidak membantah tudingan malaikat soal manusia yang berpotensi merusak. Artinya sifat merusak manusia adalah sebuah keniscayaan. Namun Allah memiliki maksud lain yang tak dapat diketahui oleh malaikat.
Perihal ayat tersebut, tafsir Al-Maraghi menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi oleh Allah daya berfikir dan kebebasan berkehendak, sehingga diindikasi oleh para malaikat bahwa manusia cenderung berbuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah SWT memberikan manusia ilmu pengetahuan agar manusia dapat mengemban amanat Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Adapun dalam tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menyampaikan bahwa ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan. Dengan pengangkatan itu Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.
Meski sebagai sebuah keniscayaan, sifat merusak manusia tak boleh serta merta dibiarkan. Namun manusia berkewajiban memperkecil bahkan menahan diri untuk tidak bertindak merusak. Sesungguhnya dalam hidup segala sesuatunya adalah ujian. Segala hal baik dapat bernilai ibadah, kemudian sebaliknya, segala perilaku buruk dapat menjadi dosa. Pada akhirnya segala sesuatu yang telah dilakukan dalam kehidupan dunia akan ditimbang dan akan diberi balasan dalam kehidupan berikutnya (akhirat).
Tugas manusia
Setidaknya ada dua tugas manusia didalam hidupnya yaitu beribadah (Adz-Dzariyat: 56) dan menjadi khalifah di bumi (Al-Baqarah: 30). Ibadah dibagi menjadi 2 yaitu ibadah mahdhah yang bersifat ritual seperti sholat, puasa dan haji, kemudian ibadah ghairu mahdhah yang bersifat non ritual/muamalah seperti hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya.
Dalam hal ini ibadah tak cukup jika hanya yang bersifat ritual saja namun tidak hadir dalam problematika yang ada di sekitar lingkungannya, begitu pun sebaliknya. Kedua-duanya harus dilakukan dan saling berhubungan. Ibadah ritual harus terejawantahkan pula melalui hubungan yang baik dengan sesama manusia maupun alam beserta isinya.
Tugas dalam hidup manusia selanjutnya dijelaskan oleh Allah didalam surah Ali Imron ayat 104. Ayat tersebut berbunyi, “Dan hedaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Kita dihimbau untuk menjadi segolongan umat yang menyeru kebajikan. Artinya ayat tersebut bersifat realistik. Tidak menyeru kepada seluruh manusia, namun cukup segolongan manusia tertentu. Tafsir Jalalayn menyebutkan bahwa perintah itu bersifat fardu kifayah yang tidak mesti bagi seluruh umat dan tidak pula layak bagi setiap orang, misalnya orang yang bodoh. Dalam hal ini, berdasarkan pemahaman dan pengetahuan seseorang juga dapat terbebas dari perintah tersebut.
Namun kita perlu melihat hal tersebut sebagai tantangan manusia dalam menghadapi segala bentuk kerusakan yang muncul akibat aktivitas kehidupannya. Mahatma Gandhi pernah menyampaikan bahwa segala yang ada di bumi ini cukup untuk seluruh umat manusia, tapi tidak dengan kerakusannya. Dalam hal ini, perintah mencegah kemunkaran/kerusakan didalam Ali Imron ayat 104 tersebut merupakan sebuah tantangan sesungguhnya untuk menjadi segolongan umat manusia terbaik. Segolongan yang menyeru kebaikan melawan segolongan yang memiliki kebiasaan buruk. Segolongan yang mengajak kebaikan kepada segolongan yang mengajak pada kekeliruan. Segolongan yang mencegah kerusakan kepada segolongan yang tunduk pada nafsunya untuk terus melakukan pengrusakan.
Kita dapat melihat secara langsung berapa prersentasenya antara segolongan yang berjuang menjaga dan mendatangkan kebaikan dengan segolongan yang gencar mengeksploitasi sumber daya. Inilah jalan terjal bagi umat terbaik. Jalan yang tak banyak dilalui orang. Namun sesungguhnya itulah segolongan manusia yang senantiasa mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi yang telah difirmankan. Didalam keterbatasan dari segi jumlah, sesungguhnya Alloh pun memberikan langkah strategi melalui firmanya didalam surah As-Saff ayat 4 yaitu “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh”.
Seruan perang dalam ayat tersebut tak perlu ditakutkan. Perang memiliki dimensi kultur atau kondisi sosial politik di zamannya. Di zaman revolusi industri 4.0 dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu masif membuat definisi perang menjadi lebih luas. Perang tak melulu bentrok fisik dan adu kecepatan menghilangkan nyawa. Melalui pendidikan, perang bisa dipahami dengan menebarkan pemahaman-pemahaman yang tepat, untuk berperang melawan kebodohan, ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Melalui ekonomi, perang bisa dipahami dengan menjamin kehidupan kebutuhan dasar manusia sehingga terhindar dari tindak kriminal. Melalui advokasi, perang bisa dipahami dengan menjamin seluruh warga negara setara dihadapan hukum agar tak menjadi korban kesewenang-wenangan.
Jihad Ekologi
Tak banyak yang mengambil jalan perang ini. Bahkan sebagian besar memilih apatis menyelamatkan diri sendiri ketimbang berkorban untuk kemaslahatan yang lebih luas. Karenanya Allah meminta kita untuk solid berada dalam satu barisan yang teratur meskipun kalah jumlah. Rasulullah telah memberikan banyak contoh ketauladanan. Dari jumlah barisan beliau yang amat sedikit, tapi karena di golongan yang tepat maka akan dibela oleh Yang Maha Kuasa. Inilah jihad yang sesungguhnya. Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim harus senantiasa mengejawantahkan firman Tuhan demi kebaikan seluruh makhluk. Bukan malah turut andil memasifkan kerusakan dan mendatangkan bencana yang lebih luas.
Diksi ‘Jihad’ memiliki makna yang lebih luas pada era kontemporer ini. Ditengah manusia yang selalu tampil superior dengan memanfaatkan sumber daya tanpa mempertimbangkan aspek keseimbangan dan kelestarian alam. Nafsu merusak pada diri manusia harus senantiasa kita redam secara bersama, agar Islam benar-benar bersifat rahmatan lil”alamiin. Karenanya berperang melawan kebiasaan dan nafsu merusak lingkungan merupakan jihad yang tepat untuk saat ini dengan metode-metode yang sesuai kondisi zaman.
*Mahasiswa Magister Agribisnis Departemen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang