Opini

Karhutla, Mengubah Surga menjadi Neraka

Kaderhijaumu.id | Malang – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih saja menjadi masalah klasik yang melanda. Musim kemarau dan el nino sering menjadi alibi terjadinya karhutla. Memang betul ketika musim kemarau dedaunan mengering, tapi bukankah kalau tidak ada api tidak menjadi masalah? Sebenarnya siapa yang berulah?

Masalah Klasik yang Belum Terselesaikan
Indonesia, memiliki rapot merah sejarah dalam hal kasus karhutla. Paru-paru dunia yang dibanggakan kian terkikis dan berubah menjadi nereka yang membara. Tahun 1997-1998 adalah kasus karhutla terbesar dalam sejarah Indonesia. Selama 7 bulan terjadi, tak hanya berdampak secara domestik Indonesia, tapi berdampak juga pada negara-negara tetangga. Langit Asia Tenggara memekat, bahkan terdampak hingga Australia.

Dari kasus kelam masa lalu itu ternyata kita belum berbenah, hingga saat ini. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, selama periode Januari-Juli 2023, luas karhutla di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (Ha). Hingga kasus akhir-akhir ini seperti yang terjadi di Gunung Arjuna dan kasus flare prewedding yang membumihanguskan cantiknya savana di Bromo.

Mencari Biang Keladi Karhutla
Pernahkan muncul pertanyaan, sebenarnya apa yang menjadi penyebab karhutla? Betulkah kemarau dan el nino panjang sebagai biang keladinya? Benarkah karhutla adalah fenomena alam tahunan yang patut dimaklumi bersama? Apakah manusia yang menjadi faktor utama penyebab sebenarnya?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan, penyebab karhutla sebagian besar dilakukan tangan-tangan manusia. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa karhutla di Indonesia 99% disebabkan atas ulah manusia dan hanya 1% yang berasal dari faktor alam. Artinya, sudah terjawab bahwa biang keladi ini semua adalah ulah tangan manusia.

Human error (kesalahan manusia) yang mengakibatkan karhutla ada yang disengaja maupun tidak disengaja. Praktik yang disengaja contohnya seperti membuka dan membersihkan lahan pertanian atau perkebunan (land clearing) dengan cara dibakar. Terutama pada praktik perkebunan korporasi yang dikerjakan dalam skala luas, mengingat karena alasan efisiensi. Namun, alasan efisiensi ini sama sekali tidak memikirkan dampak ekologi.

Adapun karhutla yang disebabkan oleh ketidaksengajaan atau kecerobohan ulah tangan manusia, misalnya, membuang puntung rokok, membakar sampah, dan bekas perapian yang belum dipadamkan. Selain itu, ada kasus ceroboh lain baru-baru ini yang banyak diperbincangkan publik, yakni akibat flare untuk estetika foto preweddding di Bromo. Apakah demi konten dan foto yang ciamik, kemudian rela untuk merusak cantiknya surga dan mengubahnya menjadi neraka dengan kecerobohannya? Sengaja maupun tidak sengaja, perilaku destruktif yang menyebabkan karhutla itu harus ditindak tegas supaya tidak terjadi berulang-ulang kali.

Perlunya Perspektif Ekologi dalam Tindakan Ekonomi
Terlepas dari apapun kemungkinan penyebabnya, kita harus segera menghentikan ini, mengingat bahaya dan dampak karhutla bagi semesta. Terutama pada kasus pembakaran lahan untuk kepentingan korporasi. Sebab, karhutla bukan saja menyebabkan polusi udara, lebih penting lagi ialah merusak tatanan ekologi.

Berkaitan dengan urusan ekologi, logika ekonomi yang mengedepankan efisiensi patut kita kaji kembali. Jangan sampai dasar motif ekonomi menyebabkan rusaknya keanekaragaman hayati. Jangan sampai dengan dalih efisiensi, mengorbankan kelestarian ekologi.
Sebenarnya tidak hanya urusan ekonomi, tapi semua tindakan apapun harus dilandasi dengan kesadaran ekologi supaya tidak melahirkan tindakan destruktif, merusak alam yang lestari.

Sudah saatnya kita menghentikan perusakan dan kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan karhutla. Marilah bersinergi menjadi generasi terakhir yang menghentikan kerusakan, bukan menjadi generasi terakhir yang tertimpa dan menerima konsekuensi dari kerusakan lingkungan.
Ini bukanlah saatnya untuk saling menunggu dan saling menunjuk. “Kalau tidak kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” Mari menuntaskan misi besar yakni untuk mengelola dan mewujudkan lingkungan lestari, menyemai kembali surga yang rusak karena ulah tangan manusia sendiri.

Kontributor : Muhammad Irfan Hakim (Pegiat KHM Malang Raya)

Show More

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button