Opini

Kaum Muda dan Gerakan Hijau

Oleh: David Efendi, S.Ip., M.A (Dosen FISIP UMY dan pegiat Kader Hijau Muhammadiyah)

Setelah sekian dasawarsa bangsa Indonesia kesulitan merespon persoalan lingkungan akibat kendala kultural dan politik pasca kolonial di mana masyarakat harus survive dari beragam persoalan mendesak seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, gap informasi, akses politik, dan dominannya birokrasi akhirnya satu dekade terakhir ini terlihat ada ruang terbuka lebar untuk partisipasi secara aktif dalam pembangunan dan agenda pemulihan lingkungan hidup. Tumbuhnya beragam respon tak lagi didiminasi oleh NGO lingkungan yang sudah pemain lama malang melintang dalam isu ekologi, respon juga dilakukan oleh organisasi keagamaan dan komunitas afiliasi di dalamnya. Tentu ini suatu kemewahan yang patut disyukuri bersama.

Dari ratusan komunitas dan organisasi lingkungan yang digerakkan kaum muda, mencoba mengangkat komunitas yang basisnya adalah aktifis keagamaan yang merupakan fenomena penting untuk dicatat mengingat pegiatnya merupakan orang-orang yang punya ikatan emosional dengan organisasi masyarakat berbasis keagamaan yang sangat berpengaruh seperti Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) dengan Muhammadiyah, FNKSDA dengan NU, Kristen Hijau, Ecobhineka dengan Aisyiyah, Interfaith for Rainforest Initiative-Indonesia (IRI Indonesia) dengan ikatan lintas agama dan komunitas lainnya. Kemunculan Gerakan ini secara besar dipayungi oleh pengakuan Anna Gade (2019) akan lahirnya gelombang aktfiisme Gerakan lingkungan oleh kelompok agama.

Dalam buku Muslim environmentalism, Anna M. Gade mengeksplorasi dasar-dasar agama dan budaya lingkungan Islam. Dia memadukan studi tekstual dan etnografi untuk menawarkan penjelasan yang komprehensif dan interdisipliner tentang prinsip-prinsip hukum, etika, sosial, dan empiris yang mendasari komitmen Muslim terhadap bumi. Menurutnya beragamnya komunitas dan mazhab Muslim telah menjawab pertanyaan-pertanyaan ekologis demi peradaban bumi. Buku ini menunjukkan bahwa tradisi Islam membawa pemahaman untuk melihat lingkungan sebagai ide etis, bergerak melampaui kerangka alam dan krisis yang mapan. Aktifisme Lingkungan Muslim memodelkan pendekatan baru untuk studi agama dan lingkungan dari perspektif humanistik, menafsirkan kembali isu-isu di persimpangan berbagai disiplin ilmu untuk mengusulkan pemahaman lingkungan pascakolonial dan global dalam hal hubungan konsekuensial.

Kemunculan

Motifasi kelahiran tentu saja sangat beragam mulai dari akibat perwacanaan yang meluas oleh aktifis lingkungan (bisa disebut kelompok NGO dan akademisi), fakta kerusakan lingkungan, dan dan kesadaran ekoteologi baru. Secara umum ada sebab kemunculan Gerakan lingkungan kaum muda ini yang dapat disimpulkan antara lain secara idealitas terdapat faktor-teologis, ideologis, dan sosio-ekologis. Faktor pertama berurusan dengan perintah memakmurkan planet bumi dan mencegah kerusakannya baik dalam kitab suci maupun dalam hadis nabi pada umumnya dilekatkan pada Gerakan lingkungan berbasis komunitas muslim. Di Muhammadiyah dan di Kaderhijau meletakkan beberapa ayat kunci yang menjadi kekuatan spiritual teologis antara lain adalah Q.S Al-Anbiya : 107 yang berbunyi Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin yang artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Ayat ekoprofetik ini sangat popular di kalangan pegiat lingkungan muslim. Selain itu adalah surat Al maun yang menjadi dalih penting Gerakan lingkungan agar mencegah munculnya kemalaratan baru dan penderitaaan baru akibat rusaknya lingkungan.

Selain itu, ayat yang sangat populer dan menggerakkan itu berbunyi: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusa: Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41)

Jika Al-Maun periode awal Muhammadiyah dimaknai untuk menciptakan pelenbagaan amal sholeh dengan pendirian sekolah, rumah sakit, rumah yatim, lalu neo Al-Maun di era pasca reformasi memunculkan soliditas dengan kelompok marginal, maka Al-Maun hijau adalah penanda fase baru bagaimana Islam harus mendorong langka kreatif untuk mencegah gelombang pemiskinan struktural akibat salah tata Kelola sumber daya alam. Kedua, alasan ideologis bagi kaum muda yang berafiliasi kepada ormas besar seperti KHM dengan Muhammadiyah adalah karena Muhammadiyah juga mempunyai nilai-nilai yang terhubung dengan nilai Gerakan lingkungan. Ada banyak risalah Muhammadiyah menunjukkan keberpihakannya pada pentingnya melindungi planet bumi dan pelembagaan Gerakan lingkungan melalui majelis lingkungan hidup dan majelis lain yang terkait advokasi lingkungan.

Dalam website kaderhijaumu.id ditunjukkan pengertian alasan ideologis sebagai berikut:

“Dalam mengaplikasikan model dakwah pecerahan tersebut, Muhammadiyah tidak hanya memeberi fokus pada gerak ekslusif terhadap lembaga organisasi otonom, sekolah/universitas, rumah sakit dan amal usaha Muhammadiyah (AUM) lainnya. Namun setelah terdapat suatu istilah gerakan baru yang memiliki semangat gerakan pencerahan, telah lahir suatu istilah baru model gerakan dakwah berbasis komunitas. Keberadaan gerakan dakwah berbasis komunitas ini, dihadirkan untuk menggarap berbagai masalah bangsa yang semakin heterogen dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat”.

Terakhir, kondisi sosio-ekologis yang secara serius diperhatikan kaum muda untuk menjadi perhatian akan pentingnya solidaritas krisis lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup akibat ulah manusia ternyata lebih besar dan banyak dibanding kerusakan akibat faktor alam. Hal ini dipicu oleh aktivitas atau perbuatan manusia yang tidak ramah lingkungan. Contohnya penebangan hutan, aktivitas pembakaran hutan, membuang sampah ke sungai, dan lain sebagainya. Akibatnya banyak bencana banjir, gagal panen, kematian akibat pernafasan, dan sebagainya. Kerja ini tidak gampang karenanya banyaknya kelompok denial akan krisis lingkungan. Sebuah jajak pendapat dari YouGov tahun 2020 menyimpulkan banyak responden asal Indonesia tak percaya perubahan iklim adalah akibat ulah manusia. Bahkan jumlahnya dibandingkan 23 negara lain sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Arab Saudi. Inilah panggilan takdir bagi kaum muda untuk lebih kerja keras lagi mendorong daya kritis ummat beragama(islam) di Indonesia.

Agenda Mendesak

Ada tiga agenda mendesak kaum muda pegiat lingkungan. Pertama, pendidikan ekoliterasi yang harus diperluas dan aksesnya dibangun lebih membumi dengan menggunakan Bahasa dan media yang disenangi masyarakat. Hasil survey di beberapa kota menunjukkan bahwa pengetahuan lingkungan di kalangan millennial masih sangat artifisial dan belum kritis sehingga gagal menemukan akar persoakan krisis lingkungan (Lyn Parker, 2021). Dari banyak kasus pencemaran lingkungan, lebih banyak kelompok responden melihatnya sebagai persoalan budaya masyarakat bukan kebijakan negara. Kedua, memperkuat dan memberagamkan gerakan advokasi. Advokasi lingkungan tidak melulu disiarkan sebagai proses yang formal, njlimet, sulit, dan birokratis. Tindakan kecil perlawanan harus dimaknai sebagai langka advokasi jangka Panjang dan aksi meluas seperti gerakan tidak menggunakan sedotan, gerakan tidak pakai plastik, gerakan sosialisasi pemakaian tumbler, dan sebagainya. Kesadaran ini penting agar kreatifitas pembangkangan akan kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan dapat ditransformasikan. Politik viral adalah kekuatan advokasi baru di zaman revolusi informasi 4.0 ini. Demokrasi yang progresif akan memberikan dukungan nyata bagi berdampaknya Gerakan lingkungan yang dimotori kaum muda dan atau lintas generasi.

Terakhir, membumikan aksi-aksi langsung untuk penyelamatan planet bumi. Kesadaran penting bagi kaum muda sebagai warga bumi bukan sekedar warga bangsa. Political will kita untuk bumi melampauai kesadaran nasionalisme geografis sehingga kesadaran ini akan menjadikan mungkin Gerakan global untuk mencegah kepunahan manusia dan peradaban. Aksi langsung adalah Gerakan yang nyata yang secara langsung dialami, faktual, fisikis seperti Gerakan menanam, memulihkan tanah, Gerakan konservasi sungai, mempertahankan sumber air, dan hal-hal lainnya yang langsung memberi dampak pulih bagi bumi. Kegiatan ini dianggap sebagai penyempurna Pendidikan ekoliterasi yang komprehensif, learning by doing.

Perlu Kolaborasi inklusif

Meskipun diskusi dalam artikel ini kaum muda tapi ini hanyalah pintu masuk untuk membuka ruang kolaborasi lintas generasi, lintas agama, lintas gender, lintas negara, dan sebagainya. Kolaborasi sebagai ruang ekspresi setara untuk mencapai hasil lebih optimal dari visi bersama yang ada. Sebagai contoh, jika visi kita mendorong praktik tata Kelola Pendidikan kita lebih punya nilai pro keadilan lingkungan maka stakeholder sekolah dan perguruan tinggi harus menjadi bagian dari kolaborator kita untuk mulai bergerak nyata. Jika kita ingin media memberikan porsi besar bagi hasanah lingkungan hidup dan gerakannya maka kita musti bersama media untuk mewujudkannya. Jika kita ingin negara lebih serius mendorong eco-justice dengan keberadaan konstitusi kita yang konon sudah punya nilai-nilai green constitution, maka perlu kita kawal kandidat capres cawaspres, caleg-calegnya, hakim-hakimnya sehingga nilai keberpihakan pada peradaban ekologis itu nyata diperjuangkan bersama sebagai visi kewargaan nasional sekaligus global (earth citizenship).

Editor : faf

Show More

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button