Opini

Ke Mana Arah Jalan Politik Lingkungan Hidup Indonesia?

Oleh: Fahmi Ahmad Fauzan*

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau yang di dalamnya dengan menyimpan banyak ketakjuban bagi siapapun yang menginjakan tinggal di negara ini. Lautan serta dataran pulau-pulau di bangsa ini menyimpan banyak keindahan: hutan, lautan, pegunungan, dan tanahnya yang menjadikan salah satu negara yang dengan kekayaan alam yang melimpah. Rata-rata penduduknya sendiri sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil alam. Selain negara ini memiliki kondisi geografis yang sangat strategis, ia juga mendapatkan anugerah kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam. Tidak heran jika bangsa ini menjadi salah satu negara yang sangat diminati banyak orang.

Atas hal tersebut, bukan berarti tak menyimpan konsekuensi. Pengelolaan lingkungan hidup yang melimpah tersebut harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Untuk mendukung hal tersebut, negara perlu suatu aspek kontitusional yang dapat mengatur itu semua agar tidak ada penyalahgunaan dalam pemakaian sumberdaya alam. Sebagai negara hukum dan penganut sistem demokrasi, sudah semestinya pemerintah mengelola itu semua berasarkan pada amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 H ayat 1 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, dengan Undang- Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA) yang menegaskan bahwa “penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur”.

Sedangkan, pasal 3 UU nomor 23 tahun 1997 yang berisi tentang pengolahan lingkungan hidup, menjelaskan bahwa “lingkungan hidup yang diselengarakan dengan atas nama tanggungjawab negara, keberlanjutan, dan manfaat yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya  yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.”

Tiga dasar peraturan diatas menekankan bahwa negara, baik didalamnya pemerintah atau masyarakat, mempunyai kewajiban menjaga kelesatrian lingkungan hidup yang hijau dan lestari. Namun, dalam praktiknya sejauh ini, peraturan itu seperti tidak berfungsi dengan baik serta tidak ada langkah serius dari pemerintah dalam menangapi kerusakaan alam yang kian serius ini, terlebih ketika kita sudah banyak merasakan kerusakan-kerusakan alam yang terjadi saat ini.

Pertanyaanya, mengapa masih banyak kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini, jikalau telah tersedia peraturan-peraturan untuk memperbaiki krisis tersebut? Lebih jauh, jalan politik seperti apa yang harus ditempuh oleh negara untuk itu?

Potret Alam Indonesia dalam Data

Dunia tengah dilanda isu pemanasan global yang dampaknya kian kita rasakan. hal ini tidak hanya menjamah Indonesia namun juga negara-negara Eropa, Amerika, Timur tengah, pun Asia. Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) yang merupakan panel ilmiah memberikan peringkatan bagi negara-negara yang masih ketergantungan oleh energi lama. Mereka menunjukan dari hasil penelitiannya: Kenaikan suhu bumi meningkat sebesar 1,09 derajat Celcius akibat pengunaan bahan bakar fossil, alih fungsi lahan, abrasi pantai, sampah, serapan air yang semakin hilang, dan kerusakan semacamnya. Akibatnya, hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau yang semakin panjang dan menjadi penyebab kebakaran skala besar. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Hasil riset WALHI terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kepadatan aktifitas industri ekstratif yang terus mengeksploitasi alam. Lahan seluas 159 juta hektar termakan oleh aktifitas industri ekstratif. Sedangakan data yang dilayangkan oleh World Resources Institute, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan kehilangan hutan primer tertinggi dan masuk pada urutan ke-4 setelah Brasil, Kongo, dan bolivia.

Walaupun di tahun 2005-2020 Indonesia mengalami penurunan laju deforestasi, namun belum bisa mengembalikan kondisi-kondisi alam yang sudah terlanjur hilang. Selain permasalahan lingkungan di atas masih banyak lagi seperti sungai yang mulai tercemar, kelangkaan air, dan lainya. Bagaimanapun, kerusakan alam yang sudah terjadi menimbulkan konflik-konflik sosial dan berimbas pada kehidupan manusia serta makhluk lainnya.

Ekosentrisme untuk Kesalingan dan Kelestarian

Aktivitas manusia modern yang sangat mekanistis dari segi modernisasi dan masyarakat menciptakan dunia yang kurang bermakna. Tidak peduli kepada manusia, pun dengan nasib alamnya. Sebagaimana dikatakan Thomas Khun dalam bukunya yang berjudul “Teori Revolusi Paradigma” (1962), “cara pandang kita terhadap alam merupakan suatu konsukuen dari diri kita terhadap ilmu pengetahuan.” Ia memberikan suatu isyarat kepada seluruh manusia atas perkembangan ilmu pengetahuan yang akan memberikan dampak positif negatif, dan tergantung bagaimana manusia memanfaatkannya.

Hingga abad ke-21, pola pendekatan manusia terhadap alam masih menjadi sebuah persoalan yang sangat berlarut-larut. Hal ini tidak terlepas dari kemajuan zaman yang semakin “modern.” Terlebih lagi, kesempitan paradigma tertentu dalam memandang alam bukan berarti menjadi dalih untuk menyalahkan satu dengan lainnya. Akan tetapi, lebih kepada bagaimana agar keberagaman antar paradigma satu dengan lainnya dapat saling melengkapi (Susilo, 2014). Misalnya antara paradigma atroposentrisme dan ekosentrisme. Pandangan pertamamemisahakan bagian-bagian makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan juga alam. Pemahaman ini membawa suatu keterasingan dan isolasi dalam konteks hubungan manusia dan alam tersebut.

Sedangkan pandangan ekosentrisme, yangmerupakan perkembangan dari biosentrime, memandang manusia bagian dari lingkungan biotik. Konsekuensinya, manusia harus menjaga keseimbangan lingkungan. Hadirnya cara pandang yang kedua ini mengurai hubungan manusia dengan alam. Paradigma ini memperluas sudut pandang (angle) yang mencakup komunitas ekosistem secara utuh. Artinya, untuk memahami alam semesta sebagai sebuah satu kesatuan sistem, hal itu bergantung pada seberapa holistik dan ekologis cara pandang tersebut. Dalam pemikiran ekosentrisme, supremasi konservasi alam dan lingkungan hidup merupakan bentuk dari rasionalitas politik lingkungan (raison d’êtrepolitik).

Etika Sebagai Navigasi Kebijakan

Padangan di atas akan sangat membantu pembentukan arah kebijakan di Indonesia yang dapat mesinergikan peran pemerintah sebagai stakeholder atas pengelelolaan alam dan lingkungan hidup sebagai langkah politik lingkungan hidup. Karf, seorang akademisi ilmu politik, memberikan 3 perspektif dasar dalam politik lingkungan, diantaranya: (a) perspektif ilmu pengetahuan, (b) perspektif ekonomi, dan (c) perspektif etika lingkungan (Siahaan 2020, hlm.7). Dari 3 perspektif politik lingkungan tersebut dapat ditinjau baik buruknya untuk lingkungan hidup dan masyarakat. Seperti dalam perspektif yang pertama, (dinamika) ilmu pengetahuan melakukan pengadopsian dan pengadaptasian atas kebenaran yang disepakati oleh komunitas akademis. Bagaimanapun, dasar pokok perspektif ilmu pengetahuan adalah suatu sumber investasi sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan.

Kedua, untung rugi menjadi corak utama pada perspektif ekonomi. Kalkulasi ekonomi yang kurang tepat (serakah) akan sangat memperburuk jasa lingkungan hidup dalam kehidupan manusia. Ketiga, perspektif etika lingkungan yaitu suatu bentuk kritik atas gaya hidup manusia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada mempertimbangan aspek-aspek non-manusia. Perspektif ini selaras dengan paradigma Etika Lingkungan ekosentrisme yang lebih mengarus-utamakan keutuhan dan keberlanjutan alam berserta isinya (Darmawan 2020).

Tulisan ini memakai pencarian jalan politik lingkungan hidup menggunakan perspektif etika lingkungan ekosentris. Karena selama ini, masih ada pengaruh paradigma antroposentris yang dominan dalam penentuan segala kebijakan. Etika lingkungan dalam kebijakan dapat kita lihat, salah satunya, pada aturan-aturan yang berada pada pola masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki karakter spiritualitas yang kuat dan dapat menjadi nilai tawar terhadap sesuatu yang diangap bernilai atas kebersamaan yang kuat dan diperuntunkan untuk kebaikan manusia atau non-manusia, baik yang berwujud atau tidak berwujud. Konsep yang diusung masyarakat adat melihat entitas-entitas kehidupan merupakan pemberian oleh Tuhan yang harus dijaga dan dalam pemanfaatanya harus memberikan timbal-balik.

Pemerintah yang mempunyai kuasa atas produksi dan kemudi kebijakan yang mensinergikan antara peran negara, masyarakat, dan alam agar terbentuknya keselestarian kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan mengindahkan nilai-nilai kebersamaan makhluk hidup dan alam. Hal ini akan menjadi sebuah pijakan baru bagi politik lingkungan Indonesia; bahwa etika lingkungan ekosentrisme adalah sebuah keharusan dan bagian yang tak terpisahkan pada pembuatan kebijakan lingkungan hidup. Dengan begitu, pencarian jalan politik lingkungan hidup di Indonesia yang disemai di atas dasar-dasar etika lingkungan tidak akan condong ke arah pembangunan manusia serta infrastruktur semata. Tetapi juga mempertimbangkan keberlangsungan yang berada di luar diri manusia: alam berserta makhluk lainnya.

*Kader Hijau Muhammadiyah Malang Raya

Show More

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button