Khotbah Ekoteologi dalam Mimbar Jum’at

Oleh : R Fauzi Fuadi*
Dari tahun ke tahun, Indonesia selalu ditimpa berbagai bencana alam mulai dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, banjir rob, kekeringan, hingga gempa bumi yang tak sedikit mengakibatkan tsunami.
Berbagai macam bencana ini sudah seharusnya memberikan kesadaran kritis bagi seluruh lapisan masyarakat mulai dari pemerintah pusat, daerah, serta kita sebagai warga negara untuk melakukan upaya pencegahan dan perbaikan dalam aspek lingkungan hidup.
Pencegahan dan penanggulangan ini harusnya diupayakan dalam jangka panjang dan bukan sekadar penanganan cepat ketika bencana ini baru saja terjadi.
Khotbah mengenai diskursus ekoteologi termasuk di dalamnya fiqhul bi’ah (fiqh ekologi) ini saya rasa perlu untuk disampaikan dalam mimbar Jum’at. Sehingga dengan penyampaian tentang materi ini dapat menyeimbangi tema-tema khotbah yang selama ini hanya berkutat pada akidah, tarikh, muamalah, hingga hukum Islam.
Sebab jika kita amati bersama masih jarang ditemui pakar fiqh yang mangkaji secara detail dan menjelaskan secara rinci perihal fiqhul bi’ah. Menjaga lingkungan pun tidak masuk dalam bagian maqasid syariah khomsah. Padahal lingkungan menjadi aspek vital dari menjaga kelestarian hidup.
Sehingga dari sini diharapkan agar masyarakat mafhum, setidaknya dapat lebih memperhatikan lingkungan tempat tinggalnya.
Hal ini penting untuk diejawantahkan, sebab ajaran agama dan pesan-pesan keagamaan selama ini terlalu condong pada pesan susila, dan kurang pada pesan-pesan eksternal-lahiriah. Lalu bagaimana cara mentransformasi dan mereinterpretasi pemikiran keagamaan, di mana masyarakat beragama saat ini sudah banyak tercemar oleh karbon yang berasal dari banyak hal, pulusi industri adalah salah satunya.
Karenanya melalui mimbar Jum’at, diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif umat islam mengenai pemanfaatan sumber daya alam dengan bijak dan merawat lingkungan adalah bagian dari ritualitas yang selaras dengan salat, zakat, puasa, dan haji.
Hal tersebut menjadi jawaban Allah atas pertanyaan malaikat yang menegasikan bahwa manusia diciptakan untuk isti’marul ard (menjaga kemakmuran bumi), sebagai pemimpin yang diberi tanggung jawab untuk menjaga menjaga keseimbangan alam sebagaimana yang termaktub dalam penggalan surat Hud ayat 61.
“….Dialah Allah yang menciptakanmu semua dari bumi (tanah) dan memintamu untuk melestarikannya”.
Sayyed Hossein Nasr (1996), seorang Professor Islamic Studies dari Iran menjelaskan bahwa, “Bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang tak ramah pada lingkungan. Pandangan sekuler beserta ilmu pengetahuan dan teknologi yang tercerabut dari akar spiritualitas dan agama menjadikan bumi kita kian kritis dan hampir mancapai titik kehancuran. Karenannya, nilai-nilai agama harus dibangun untuk merawat keseimbangan alam dari situasi yang sudah chaos.”
Senada dengan mantan menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim dalam Jendela (2009), menerangkan bahwa akibat revolusi industri kurang lebih selama 200 tahun, negara-negara di dunia membangun dengan cara merusak bumi. Sebab, energi yang digunakan untuk membangun yakni dengan minyak bumi dan batubara yang menghasilakan efek gas rumah kaca (GRK) dengan konsentrasi kepadatannya naik dari 280 parts per million (ppm) menjadi 380 ppm. Kepadatan ini merupakan selimut yang membungkus bumi. Semakin tebal selimut maka semakin panas bumi.
Akibatnya, perubahan iklim dan naiknya emisi gas rumah kaca tak terkontrol. Inilah yang kemudian menjadi penyebab beberapa daerah di pesisir utara Jakarta dan pesisir utara Jawa lainnya tenggelam.
Seorang ustadz yang tak lagi diragukan ilmu keagamaannya itu sudah menjadi keniscayaan untuk menyeru kepada segenap masyarakatnya agar lebih mencintai dan memelihara alam tempat tinggalnya.
Arkian, gas rumah kaca yang meyelimuti bumi merupakan penyebab dari pemanasan global yang kita rasakan saat ini. Jika kita tak melakukan perubahan untuk memitigasi pemanasan global, dampak iklim seperti kebakaran hutan, gelombang panas yang menyengat, hingga kenaikan air laut yang terus mengancam akan terus berlanjut.
Karenanya hablumninalalam merupakan salah satu dari ketiga aspek (habluminallah – hablumminannas – habluminalalam) yang harus diejawantahkan dalam roda kehidupan yang terus berputar dalam ketidakpastian ini.
Salam Lestari, Hijau Berseri!
*Penulis Lepas dan Pegiat Konselor Islam