Refleksi Fatwa Corona
Oleh: Shohib Khoiri
(Dosen Agama & Etika Islam ITB)

“Saya tak takut Corona, hanya takut Allah.” Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambarkan keimanan yang tinggi, tapi sebenarnya sarat akan paham Jabariyah dalam kajian akidah Islam. Bila statemennya begitu, lantas bagaimana dengan keimanan Baginda Nabi yang mengatakan: “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari singa,” (HR. Bukhari). Apakah Nabi kurang beriman, atau, apakah iman neo-jabariyah itu lebih tinggi dari keimanan Baginda Nabi?
“Tak mungkin Allah turunkan wabah kepada orang-orang saleh.” Sama seperti di atas, kalimat ini tampak seperti benar, tapi ada kerancuan. Kalau diyakini bahwa wabah hanya akan mengenai orang kafir/ahli maksiat, lalu bagaimana dengan sahabat mulia Muadz bin Jabal yang wafat karena wabah penyakit? Apakah keimanan beliau lebih rendah dari keimanan para pengucap kalimat di atas?
“Tapi masjid adalah rumah Allah, tak mungkin Allah turunkan wabah di rumah-Nya, maka fatwa para ulama itu keliru.” Kalimat ini pun tampak manis didengar, tapi bagaimana dengan sabda Baginda: “Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat,” (HR. Bukhari). Hadits ini bersifat umum, berlaku di semua tempat.
“Tapi tampaknya di wilayah kita aman-aman saja,” kalimat ini sedikit lunak dan semoga kalimat ini benar sesuai fakta. Tapi kewaspadaan mutlak diperlukan. Para ahli virus mengatakan bahwa korona adalah wabah dengan sifat mudah tersebar dengan masa inkubasi yanh cukup panjang, sehingga orang yang terpapar baru akan ketahuan setelah 14 hari-an.
Fenomena merebaknya kalimat-kalimat di atas merupakan ekspresi lazim bagaimana otoritas keilmuan tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun sains. Ironisnya, penolakan pada otoritas sains itu dilakukan dengan argumentasi agamis. Padahal Allah berfirman: “Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui.”
Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait adalah negara-negara yang lebih dahulu mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah Jumat selama wabah korona berlangsung. Mereka berfatwa dengan ilmu, ratusan hadis mereka hafal. Tak perlu ditanya mengenai hafalan Quran mereka. Para ulama sangat paham bagaimana ‘himayatun nafs’ (memelihara jiwa) merupakan salah satu ‘maqashid syariah’ (tujuan dasar syariat). Malu kita kalo membandingkan ilmu kita dengan ilmu mereka. Jangankan 30 juz, bahkan juz 30 mungkin kita tak hafal. Jangankan ratusan hadis, hadis “innamal a’malu binniyyat” saja mungkin kita tak hafal. Begitu juga dengan para ulama di MUI yang tak diragukan keilmuannya.
Kalimat lain yang masih saja ada yang mengatakannya adalah: “kita tidak mengikuti ulama, tapi kita mengikuti Quran dan sunnah.” Kalimat ini pun sangat manis, tapi apakah para ulama itu tidak mengikuti Quran dan sunnah? Siapa yang lebih paham dengan Quran dan sunnah? Kita atau para ulama itu yang jelas sanad keilmuannya?
Para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka terhadap agama, setelah mendengarkan ahli virus corona. Maka merendahkan fatwa mereka dapat dimaknai sebagai negasi terhadap otoritas keilmuan agama dan sains sekaligus.
Perlu diingat, Baginda Nabi pernah bertutur:
إذا وسد الأمر الی غیر اهله فانتظر الساعة
(Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, nantikanlah kebinasaan yang akan datang).
عصمنا الله و إیاکم بطاعته ..