SILUET UNTUK PENINDAS RAKYAT

Oleh: Milada RA
Kepada para penindas rakyat
Ingatlah dulu kau ini siapa? makan, mandi sendiri saja tak bisa
Apalagi bercocok tanam
Tak kau lihat petani dan rakyat kecil itu, tak ada mereka mau jadi apa kita?
Bayam, buah, padi mereka tanam untuk kebutuhan gizi kita, kita sekarang pandai dan cerdas
Apalagi yang di cap pengaman negara itu, kau dapat punya tubuh yang ideal, kuat dan sehat
Tapi sayang, taunya memukul dan menembak yang lemah
Yang bermodal peci dan sorban juga begitu, suka sekali mengkapling-kapling surga, saling tuduh sesat dan halal darah sesama
Sedang kaum buruh, petani dan pedagang kecil, semua dikutuk
Tanah saja tak boleh mereka punya, dikira tak punya perhitungan, teori hidup, dianggap mereka kelompok bodoh dan tolol
Diatur hidupnya, sesuai rumus-rumus yang dibaca, yang kau sendiri tak faham sepenuhnya
Mulut berbusa saat bicara kemajuan, kesejahteraan dan perjuangan
Sedang keringatnya tak pernah sedikitpun tertempel debu dan terik matahari
Sudahlah.. Jangan bicara masarakat kita tertinggal, justru kau yang kurang ajar
Jangan bicara masyarakat kita kurang nasionalis dan patriotik, justru kau yang tak bisa dikritik
Jangan bicara masyarakat kita krisis moral dan prilakunya tak wajar, justru kau yang mungkin sudah edan
Saya tanyakan pada tuan-tuan, kurang wajar bagaimana?
Manusia hidup mana yang tak butuh tanah
Bahkan matipun nanti?
Lagi-lagi kaum berpunya yang dapat membelinya
Pun pendidikan, juga sama persoalnya
Yang berpunya lagi-lagi yang kuasa
Lantas untuk apa kita menjadi bangsa merdeka
Atau memang kau sedang takut
Nanti jika kebutuhan mereka cukup, perutnya tidak lagi lapar dan sejahtera hidupnya
Kau tak bisa lagi mempunyai selir atau bermain nakal untuk memenuhi syahwatmu
Atau jangan-jangan parahnya lagi
Engkau ini dulu menikah, karena tidak saling mencintai
Kau tak bisa menulis bahkan meyusun kata-kata indah untuk kekasihmu
Akibatnya setelah jadi pasanganmu, hambarlah semuanya
Dan.. Jadilah kebiasaan
Sini kita berbisik!!
“Pasanganmu tak mau kasih jatah ya? jika setiap hari kau tak setor uang segebok..
Pantas kau ini rakus sekali..
Sial sekali nasipmu..
Ahhhh sudahlah, bicara denganmu memang tak pernah faham dengan bahasa manusia”.
Surabaya, 20 Januari 2017