Opini

Untuk Apa Memperingati Hari Bumi, Jika nanti Kiamat akan Terjadi?

Oleh: Iman Permadi*

Langgam pertanyaan yang senada dan sekaligus menjadi jawaban dari judul di atas ialah: Lantas, untuk apa kita makan, jika kita tahu bahwa setiap yang bernyawa kapan saja bisa mati?

Dalam dinamika sejarah pemikiran manusia, perdebatan semacam itu bukanlah hal yang baru. Kelompok Jabariyah adalah salah satu yang tercatat dalam mewakili pandangan ini. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tak bisa diubah karena telah berada di atas garis ketetapan Allah (statis). Sehingga manusia tak perlu mengintervensi rencana yang telah dibuat olehNya. Artinya, manusia tak punya peluang untuk memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri (fatalisme).

Argumen utama dalam tulisan ini berada di seberang logika Jabariyah tersebut. Kita boleh saja menyakini bahwa tak sehelai daun jatuh-pun yang luput dari kuasaNya (takdir). Tapi, apakah setiap pohon yang ditebang oleh sekelompok manusia secara besar-besaran juga atas kuasaNya? Apakah penyedotan cairan perut Bumi dan pengerukan ikan-ikan serta biota laut lainnya oleh gerombolan industri secara besar-besaran juga atas kuasaNya? Bagaimapaun, hari kiamat adalah kuasa Allah. Sedangkan memiliki gaya hidup overkonsumtif, eksploitatif atau melakukan beragam aksi ekologis melalui, salah satunya, peringatan hari Bumi adalah kuasa manusia.

Latar Belakang Peringatan Hari Bumi: Lebih Banyak Kerusakan daripada Kebaikan

Lima puluh tiga tahun yang lalu, 1969, proyek pengeboran miyak di laut lepas (offshore) California, Amerika Serikat yang bernama Santa Barbara mengalami kebocoran. Akibatnya, ekosistem laut di sekitarnya mengalami kerusakan yang sangat parah akibat tumpahan racun minyak tersebut.  

Satu tahun kemudian, tepatnya pada 21 April (1970), ribuan orang turun ke jalan secara kolektif untuk menuntut menghentikan aktivitas ekstraksi bahan bakar fossil yang berasal dari perut Bumi tersebut. Sejak peristiwa itu, dunia Barat, khususnya Amerika, menandai hari Bumi untuk pertama kalinya.

Generasi yang hidup pada saat itu (1970) telah menyadari bahwa aktivitas pengeboran minyak tersebut mempunyai dampak negatif yang lebih besar ketimbang dampak baiknya. Mereka secara sadar juga merasakan bahwa kerusakan tersebut tidak menunggu terjadi di masa mendatang. Tetapi pada saat itu juga.

Jika kesadaran sains membentuk kesadaran masyarakat Barat untuk menolak praktik yang merugikan banyak makhluk tersebut, lantas bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar sangat religius? Lebih khusus dalam Islam, bagaimana jika dikaitkan dengan kaidah ushul fiqih di bawah ini?

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

(Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan)

Meski begitu, penulis percaya bahwa orang awam-pun dapat menalar bahwa, dalam konteks ini, meraup keuntungan di tengah penderitaan massal makhluk lain ialah sebuah kedzaliman.

Hari Bumi adalah Konsekuensi Ekologis

Merefleksikan peringatan hari Bumi dengan menggelar agenda-agenda pelestarian lingkungan melalui pendekatan kultural maupun struktural adalah bentuk ikhtiar (‘azam) manusia sebelum mencapai ujung batas wilayah kuasa manusia: tawakkal (QS. 3 : 159).

Misalnya, dalam pendekatan kultural, kita dapat mengedukasi diri sekaligus mengkampanyekan hasil refleksi di atas dengan memberi berbagai alternatif gaya hidup yang ramah lingkungan, perawatan dan penanaman pohon, pengolahan sampah, dan sejenisnya melalui ruang digital maupun di aktivitas non-digital. Lebih jauh, selain persoalan psikologis dan sosiologis, kerusakan lingkungan juga politis—ia berkelindan dengan persoalan relasi-kuasa yang ada.

Deklarasi hari Bumi dan peringatan-peringatan setelahnya bukanlah bentuk dari kesia-siaan. Berbagai ikhtiar yang telah dan sedang dilakukan oleh kalangan pemerhati atau pegiat lingkungan di seluruh dunia merupakan bentuk dari ikhtiar untuk memperpanjang usia Bumi dan seluruh makhluk di dalamnya. Sama halnya dengan aktivitas makan yang dilakukan oleh manusia. Mereka makan untuk memperpanjang usianya, meski mereka tahu bahwa suatu saat mereka pasti akan mati.

*Kader Hijau Muhammadiyah Surabaya

Show More

Kader Hijau Muhammadiyah

Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) | Platform Gerakan Alternatif Kader Muda Muhammadiyah dalam Merespon Isu Sosial-Ekologis #SalamLestari #HijauBerseri

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button