Urgensi Green Ramadhan untuk Bumi


Oleh: Irsyad Madjid*
Beberapa waktu yang lalu, saya terhenyak ketika membaca buku berjudul “Green Deen: What Islam Teach about Protecting the Planet” karangan Ibrahim Abdul Matin, pria keturunan Afrika-Amerika yang pernah jadi penasehat kebijakan untuk Walikota New York, Michael Bloomberg.
Buku ini tampil dengan argumen berani: “setiap bagian dari planet Bumi ibarat masjid.” Konsekuensinya, jika bumi diibaratkan sebagai masjid, maka semua organisme yang ada di dalamnya adalah suci dan wajib dilindungi. Selayaknya umat islam selama ini menjaga dan menghormati seluruh bagian dari masjid.
Meski terdengar radikal, tapi sebuah hadits riwayat Muslim juga menukilkan bahwa nabi Muhammad SAW sendiri bersabda “Setiap bagian dari Bumi Allah adalah tempat sujud (masjid)”. Lazimnya, perkataan ini dimaknai sebagai kemudahan beribadah bagi muslim yang sedang melakukan perjalanan. Tapi Abdul Matin menganggap bahwa ini justru bukti bagaimana sesungguhnya Islam mengatur relasi antara manusia dan alam.
Sebab, jika hendak ditelusuri, hakikat penciptaan manusia sebenarnya punya tugas yang berat untuk melindungi segala yang menjadi bagian dari Bumi. Hal ini beberapa kali disinyalkan dalam berbagai bentuk, seperti perkataan ataupun afirmasi tindakan dari nabi Muhammad SAW. Untuk itu, dua muslimah pegiat keyakinan beragama untuk lingkungan hidup (GreenFaith) asal Amerika, Sarah Yasmin dan Qori Majeed, merangkum sebuah buku berjudul “Forty Green Hadith: Sayings of the Prophet Muhammad on Environmental Justice & Sustainability”.
Pada bagian hadits yang berkaitan tentang planet, dikutip perkataan nabi tentang Bumi sebagai ibu bagi manusia. Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, “Safeguard the earth, for it is your mother who will report (to God) the good or evil anyone does on it”. Yang kurang lebih berarti, jika sebelumnya diberikan tanda bahwa Bumi ibarat masjid yang suci; “Islam lalu menambahkan status mulia seorang Ibu pada planet Bumi: menjadi penyedia sekaligus pelengkap kebutuhan manusia.”
Pengetahuan dan isyarat tentang nilai sakralitas planet Bumi, melahirkan suatu cara pandang baru: “Islam sebagai agama yang hijau (Green Deen)”. Dalam perspektif ini, manusia ditugaskan sebagai khalifah (Guardian);tugas sebagai khalifah itu melekatkan satu prinsip fundamental: agar hidup selaras bersama alam (Mizan).
Namun, keseimbangan pada planet Bumi kian hari menjadi sangat terganggu. Bahkan, mulai memperlihatkan gejala kerusakan yang tidak biasa. Tanda-tanda destruktif itu tak malu-malu bersembunyi. Kerusakan-demi-kerusakan dengan jelas menampakkan dirinya pada setiap elemen dasar planet Bumi.
Di udara, polutan sisa pembakaran kendaraan bermotor membubung tinggi; mendatangkan bahaya bagi setiap makhluk hidup yang menghirup. Tercatat, tujuh juta manusia mengalami kematian dini akibat hal ini; 600.000 di antaranya adalah anak-anak (IQ Air Report, 2020).
Begitu pula dengan kondisi kritis terkait permintaan kuantitas air bersih yang terus meningkat, padahal kualitas air bersih malah semakin menurun akibat tercemar sampah rumah tangga dan industri. Kondisi ini membuat tingkat kelangkaan air bersih menjadi semakin tinggi dan mengancam 36 % populasi dunia (An Agenda for Water Action, 2018).
Di sisi lain, desakan untuk bertahan hidup membuat manusia juga tak henti mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi daratan di muka bumi. Tercatat, 12,2 juta hektare tutupan pohon di daerah tropis mengalami deforestasi pada tahun 2020.
Dari luas tersebut, 4,2 juta hektare di antaranya berada di dalam hutan primer tropis basah yang notabene sangat penting bagi penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati. Pembukaan lahan dengan mengorbankan hutan harus dilakukan demi mencukupi kebutuhan pangan 7,7 miliar populasi penduduk dunia.
Bumi Juga Butuh Puasa
Aktivitas negatif yang secara signifikan terus terjadi membuat planet Bumi bereaksi. Ketika pandemi merebak, Bumi mengambil “jeda” dari kegiatan destruktif manusia dan melakukan “self-restoration.” Hal ini pun terbukti efektif. Data pada tahun 2020 mencatat, karantina wilayah global yang diberlakukan membuat 84% negara-negara di dunia yang mengalami peningkatan kualitas udara menjadi lebih bersih.
Dalam hal ini, “jeda” Ramadan juga merupakan momentum terbaik untuk “beristirahat” sejenak bagi Bumi. Hakikatnya, ibadah puasa adalah usaha untuk mengurangi kegiatan-kegiatan normal yang kadang berlebihan. Lewat pemahaman tersebut, sejak beberapa tahun lalu lahir inisiatif gerakan “Green Ramadhan” di berbagai belahan dunia. Di Amerika, muncul kampanye bertajuk “Greening Our Ramadhan” yang mempunyai misi propaganda peduli lingkungan hidup, diluncurkan sejak tahun 2015 oleh The Islamic Society of North America (ISNA).
Gerakan ini bermula dari kegelisahan tentang penggunaan benda-benda sekali pakai—yang sebagian besar berbahan dasar plastik—dalam kegiatan buka puasa bersama komunitas muslim di sana. Meski nampak sederhana, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai adalah gaya hidup yang dampaknya cukup signifikan Bumi. Hal ini tidak terlepas dari data yang menunjukkan bahwa setiap detik, 15.000 botol plastik dijual di seluruh dunia. Jika dijumlahkan, angkanya mencapai 1.000.000 per menit dan 480 miliar dalam setahun.
Durasi keteruraian sampah plastik yang mencapai ratusan tahun membuat ancaman ini menjadi semakin nyata. Sebab, tren penggunaan plastik diperkirakan akan terus meningkat sebesar 40 % dalam waktu 10 tahun kedepan. Celakanya, hanya sekitar 7% dari jumlah plastik sekali pakai yang mengalami proses daur ulang. Jika tidak ada usaha pencegahan, lautan akan terisi oleh lebih banyak sampah plastik dibanding ikan pada tahun 2050 mendatang.
Apa yang dilakukan di Amerika juga selaras dengan inisiasi komunitas muslim di Jerman. Merubah fenomena gaya berbuka puasa pun tidak hanya berhenti pada persoalan daur ulang. Mereka kemudian memulai sebuah gerakan bernama “Green Iftar.” Salah satu misinya ialah mengurangi konsumsi berlebihan yang kerap dilakukan ketika berbuka puasa dan meminimalisir potensi sisa makanan.
Gerakan ini menjadi sangat krusial untuk dilakukan mengingat sisa makanan yang terbuang adalah salah satu penyumbang utama terjadinya krisis iklim. Menurut data, sektor pertanian dan deforestasi berkontribusi sekitar 30 persen dari total emisi gas rumah kaca. Ironisnya, sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi dari proses tersebut —1,3 miliar ton— hanya terbuang sia-sia. Padahal, jika dimanfaatkan hanya seperempat dari total makanan yang terbuang, akan cukup untuk memberi makan 870 juta orang yang kelaparan di dunia.
Parahnya, data justru menyebutkan bahwa tagihan makanan meningkat dari 50% hingga 100% selama bulan Ramadan. Bahkan, diperkirakan konsumsi makanan di bulan Ramadan menyumbang total 15% dari pengeluaran tahunan keluarga. Maka tidak heran, gerakan “Green Iftar” tercatat berhasil menyelamatkan 3.400 Kg potensi sisa makanan yang akan menjadi emisi gas rumah kaca selama bulan Ramadan tahun 2019.
Sehingga, keterhubungan antara ibadah dan lingkungan adalah paradigma baru yang harus dipopulerkan. Walapun perubahan yang dihasilkan dari pemahaman “Green Deen” ini dimulai dari dimensi yang sifatnya mikro (individual changes), jika diterapkan secara massif, prinsip bahwa menyakiti Bumi sama dengan mencederai bangunan yang suci (Masjid) dan melukai makhluk yang mulia (Ibu), kelak akan mengantarkan pada perubahan yang sistematis.
*Kader Hijau Muhammadiyah Malang Raya