ZAKAT HIJAU UNTUK KEHIDUPAN BERKELANJUTAN

Oleh: Iman Permadi*
Zakat adalah salah satu pilar yang utama dalam ajaran Islam. Jamak dipahami dan kemudian diejawantahkan dalam bentuk aksi penguatan bangunan kehidupan sosial-ekonomi umat. Bahkan zakat lebih dari menghubungkan antara manusia kaya dan miskin. Tetapi juga turut menghubungkan antara manusia dan non-manusia.
Dengan dikeluarkannya putusan fatwa MUI No. 001/MUNAS-IX/MUI/2015 tentang pendayagunaan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf untuk sarana pembangunan air bersih dan sanitasi bagi masyarakat, telah menegaskan bahwa eratnya hubungan antara manusia dan air (non-manusia).
Dalam undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 25, zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai syariat Islam yang diatur dalam Al Qur’an surat At-Taubah ayat 60. Model pendistribusian dana yang mengesampingkan bahkan mengabaikan pemetaan ekonomi, sosial, dan lingkungan juga menjadi cermin hilangnya spirit rahmatan lil ‘alamin dalam zakat. “Selain itu, model penyaluran dana zakat yang produktif harus lebih menjadi prioritas lembaga-lembaga zakat, daripada pola-pola distribusi dana konsumtif”(Al Masraf: Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan-Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017) agar tidak hanya bersifat sumbangan (charity). Tetapi harus lebih bersifat pemberdayaan (empowering).
Di dalam LAZIZMU sendiri, narasi Zakat Hijau juga sudah pernah dimunculkan oleh Prof. Hilman Latief, Ph,D. selaku ketua Pengurus Pusat-yang kurang lebih begini, “Kita bisa membuat green zakat untuk menyelamatkan lingkungan tempat kita tinggal. Metodenya bisa menggunakan berbagai cara psenghijauan dan edukasi guna menyeimbangkan keadilan sosial,” jelas Hilman dalam BAZNAS Development Forum Zakat Sebagai Investasi Sosial di Jakarta (20/9).”(http://www.kbknews.id/2018/09/20/green-zakat-untuk-lingkungan-yang-lebih-baik/)
Perlu ditekankan bahwa kesadaran dan partisipasi pendonor zakatlah yang menjadi tonggak awal dari pendistribusian dan pemodalan produktif untuk komunitas, gerakan atau lembaga yang berorientasi ekologi. No income, no funds. Akan tetapi di sisi lain, tidak sedikit muzakki yang langsung memberikan zakat kepada para asnaf tanpa memperhatikan apakah dana zakat tersebut mampu meningkatkan level kesejahteraan mereka atau tidak. Muzakki mungkin hanya berpikir tentang hukum, bahwa cukup baginya mengeluarkan zakat, sehingga kewajibannya sebagai muslim gugur. Di sinilah pentingnya amil dalam proses penyaluran zakat. Lembaga amil yang profesional sangat diperlukan agar proses pengumpulan dana (fundraising) serta pendistribusiannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu yang membuatnya efektif dan efisien adalah dengan melakukan pemetaan sosial dan ekonomi. Susahnya, kadang-kadang menganggap amil hanya sekadar sebagai pos pengumpul zakat, tanpa tuntutan kerja optimal untuk usaha fundraising dan pola pendistribusian dana yang profesional.”