Refleksi Fatwa Corona
Fenomena merebaknya kalimat-kalimat di atas merupakan ekspresi lazim bagaimana otoritas keilmuan tak lagi dihargai, baik ilmu agama maupun sains. Ironisnya, penolakan pada otoritas sains itu dilakukan dengan argumentasi agamis. Padahal Allah berfirman: “Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila engkau tak mengetahui.”
Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait adalah negara-negara yang lebih dahulu mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah Jumat selama wabah korona berlangsung. Mereka berfatwa dengan ilmu, ratusan hadis mereka hafal. Tak perlu ditanya mengenai hafalan Quran mereka. Para ulama sangat paham bagaimana ‘himayatun nafs’ (memelihara jiwa) merupakan salah satu ‘maqashid syariah’ (tujuan dasar syariat). Malu kita kalo membandingkan ilmu kita dengan ilmu mereka. Jangankan 30 juz, bahkan juz 30 mungkin kita tak hafal. Jangankan ratusan hadis, hadis “innamal a’malu binniyyat” saja mungkin kita tak hafal. Begitu juga dengan para ulama di MUI yang tak diragukan keilmuannya.
Kalimat lain yang masih saja ada yang mengatakannya adalah: “kita tidak mengikuti ulama, tapi kita mengikuti Quran dan sunnah.” Kalimat ini pun sangat manis, tapi apakah para ulama itu tidak mengikuti Quran dan sunnah? Siapa yang lebih paham dengan Quran dan sunnah? Kita atau para ulama itu yang jelas sanad keilmuannya?